Salah satu mengapa saya suka kuliah psikologi di kampus saya, UIN Malang, adalah kami sebagai mahasiswa diberi kebebasan untuk menjalankan program-program pengembangan diri yang dilakukan saat liburan semester ganjil. Dan program itu bisa dilaksanakan di instansi-instansi yang berhubungan langsung dengan pembinaan masyarakat. Program ini tidak terikat dengan nilai, tidak terikat dengan mata kuliah tertentu namun masih membutuhkan bimbingam dari dosen sebagai penentu keberhasilan program.
Saat liburan semester tiga, saya dan. beberapa teman melakukan kerja sosial di Panti Sosial Petirahan Anak (PSPA) "BIma Sakti" Batu. Rumah singgah ini khusus untuk anak-anak umur Sekolah Dasar. Dikhususkan untuk anak-anak yang memiliki prmasalahan, seperti suka mengompol, jago bertengkar, suka mencuri barang milik teman, dll. Istilah lami saat itu, Bima Sakti digunakan sebagai tempat rehabilitasi perilaku bagi anak-anak bermasalah yang nantinya dapat meningkatkan hasil belajarnya.
Di sana, saya dan teman-teman belajar banyak hal baru terutama berhubungam dengan psikologi anak. Dengan di dampingi dua dosen pembimbing, namanya bu Yulia dan bu Retno, kami menyusun beberapa program sebagai program tambahan untu melengkapi program dari Bima Sakti sendiri. Kami memasukkan outbond di hari Sabtu dan Minggu sebagai salah satu acara refreshing. Kami juga mengadakan pembinaan kelompok kecil bagi beberapa anak-anak yang memiliki masalah ringan (karena masalah berat langsung ditangani pihak Bima Sakti). Dan itu berlangsung selama tiga minggu.
Setelah dari Bima Sakti, di liburan semester lima, saya dan beberapa teman mendaftarkan diri di sebuah SMK Negeri di Pasuruan, Jawa Timur. Hitung-hitung belajar bagaimana menjadi konselor sekolah nantinya. Kami saat itu didampingi satu dosen pembimbing, namun karena beliau mengajar di dua universitas, kami sedikit terabaikan *hiks*. Tapi ya begitulah, jiwa mahasiswa masih kental. Terobos saja, lanjut saja. Program kami saat itu adalah membantu guru bimbingan dan konseling saat konseling individu dan saat bimbingan pribadi maupun bimbingan kelompok. Dan program besar kami adalah mengadakan seminar tentang sex education, yang tentunya dihubungkan dengan yang namanya psikologis remaja. Oke, oke, berjalan dengan lancar meskipun tidak terlalu memuaskan sih. Karena pihak BK di sekolah itu tidak terbuka pada kami. Mungkin karena tampang kami masih mahasiswa kali ya, kurang menjual. Hihihi.. *pletak, mulai ngelantur*.
Dan program-program yang saya dan teman-teman lakukan itu, bermanfaat saat kami PKLI alias praktek kerja lapangan integratif di tahun 2007. Setidaknya saya sudah akrab dengan lingkungan kerja setelah lulus nanti. Hm, itu seh perkiraan awal saya. Nyatanya? Diluar dugaan saudara-saudara! Salah sendiri, kenapa milih tempat PKLI yang aneh-aneh. Ups, enggak salah sih, orang sayanya sendiri nerima tantangan PKLI di tempat yang jauh dari dugaan.
Nama dusun tempat kami kerja praktek adalah Sidowayah, kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Yang merupakan dusun dengan banyak orang yang mengalami keterbelakangan mental. Tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun juga banyak yang mengalaminya. Tidak ada penelitian lebih lanjut tentang penyebab pastinya, kenapa banyak yang mengidap keterbelakangan mental. Kalau berdasar hasil wawancara kita waktu itu dengan beberapa tokoh penting, penyebabnya beragam sih.
Dulu, ketika masa-masanya PKI, ada beberapa orang pelarian yang sampai di lereng gunung Rajegwesi dan mutuskan tinggal di sana. Cerita ini merupakan cikal bakal munculnya dusun ini. Karena kebutuhan biologis yang harus terpenuhi, banyak yang menikah dengan saudara sendiri atau incest. Ini yang menjadi masih banyaknya keterbelakangan mental. Bahkan menikah dengan saudara sendiri, saat kami di sana, masih ada lho. Meskipun pihak Dinas Kesehatan yang dibantu oleh Puskesmas sudah sering mengadakan penyuluhan.
Pendapat lain, penyebabnya karena kurangnya gizi yang mencukupi untuk warga dusun Sidowayah. Ini pengaruh dari pendapatan masyarakat setempat. Memang sih, saat sampai sana, kita terpaku. Tanahnya kering sekali, bahkan ada beberapa lokasi yang berkapur. Dan tanaman yang bisa tumbuh hanya ketela pohon, asam jawa dan jeruk. What? Berapa sih uang yang bisa dibawa pulang warga Sidowayah jika harga satu wadah asam hanya dihargai 15.000 ribu rupiah di pasar kecamatan, dengan ongkos sewa truk 2.000 ribu rupiah untuk jarak tempuk lebih dari 10 km? Itu tidak tiap hari lho. Seminggu truk hanya lewat tiga kali dan harus berebut dengan penjual asem jawa yang lain. Atau, penjualan jeruk lokal yang sekarung hanya sekitar 50.000 ribu rupiah saja dan kalah dengan penjualan jeruk impor.
Akhirnya, jeruknya kita juga yang petik, yang makan, sampai bosan. Hasilnya, kita malah enggak pernah sakit karena daya tahan tubuh baik.
Oke, oke, tentang Sidowayah, mungkin kita bahas di postingan tersendiri ya. Panjang dan lebar banget. Hihihi...
Saat itu, kita bagi tiga tim namun saling membantu. Lingkup psikologi sosial, kita punya tugas untuk membantu kesulitan belajar yang masih banyak dimiliki siswa di dua SD di Sidowayah. Lingkup psikologi klinis, meng-assasment penyebab keterbelakangan mental beberapa anak dan mencoba membuat program 'mandiri diri' dan memantau sejauh mana kemandirian anak tersebut bisa tercapai. Dan lingkup psikologi sosial, mengadakan penelitian tentang dinamika sosial yang terjadi di sana.
Menyenangkan? Sangat! Bahkan tak terlupakan. Saya tidak akan lupa bagaimana kami harus menempuh jalan makadam sejauh 5 km dengan motor dari SD satu ke SD yang lainnya karena kami haru mengadakan penyuluhan kesadaran pendidikan anak. Saya juga tak lupa, harus menyisir selang air yang mengalir dari sumber di kaki gunung, karena airnya tidak keluar karena sengaja disumbat, sehingga kami tidak bisa mandi dari pagi sampai sore. Saya juga tidak lupa kalau kami harus memincingkan mata kalau harus keluar malam hari, karena minim penerangan. Ya, daya sejumlah 220 volt, harus rela dibagi untuk tiga rumah *elus dada*.
Saya juga tidak lupa, saat kami luang, kami sempatkan ke RT yang lokasinya paling jauh dan harus naik bukit dengan jarak tempuh tiga jam *ukuran mahasiswa yang gak pernah naik gunung*. Saya juga tidak lupa, kami diajak makan burung dara kuah santan pedas oleh warga sebagai bentuk ucapan terima kasih. Ah.. tak terlupakan.
Selanjutnya, biar foto saja ya yang berbicara.
Andika, salah satu anak retardasi mental |
Bersama Sutris, anak retardasi mental yang lain. Dia berjalan dengan 'ngesot', tidak bisa berdiri |
Jalannya udah mulus. Tapi di sisi lain, ada yang masih berbatu besar-besar |
Ini mau ke RT 11 yang pakai naik bukit dulu. Sampai, langsung terkapar di rumah pak RT |
Perpisahan :( |
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway 'Sweet Moment' yang diselenggarakan oleh UnTu"
Kangen nnnnnn
BalasHapussaya juga dulu suka magang di lbh sebelum lulus, lumayan untuk pengalaman ya mbak. selamat hari raya idul fitri dan mohon maaf lahir batin ya...
BalasHapus@iis. samaaaaaaa... ^^
BalasHapus@putri. bener tuh. meskipun kadang pengalamannya nggak nyambung sama kerjaan yang sekarang, tapi terasa tak terlupa :)
selamat hari raya idul fitri :)
memang asyik magang itu, dulu saya ikutan yang COOP Telkom, magang sambil dapat gaji :D
BalasHapusdan pengalamannya itu loh yang menyenangkan
Oya Mohon maaf apa bisa bantu isi kuesioner penelitian saya tentang belanja online, kuesioner diisi secara online disini http://goo.gl/TtxTqf
Terima Kasih Banyak
Magang, apalagi di daerah yang belum diketahui dan menyajikan tantangan memang selalu jadi kenangan yang nggak terlupakan ya mbak :)
BalasHapusbener, ngga terlupakan sekali Anggara. secara kita masih buta info. kudu pinter-pinter cari info biar ngga salah susun program
BalasHapuskalo aku dulu ke daerah pertanian di Kendal, jawa Tengah. sayangnya aku kuliah dulu berhijab jadi.. hiks... gak bisa ditulis deh karena gak seru kalo tulisan gak ada fotonya...
BalasHapushiihihi.. mbak ade ada-ada ajah.. ngga pakai foto kasn ngga papa tho mbak tetep ditulis :)
BalasHapus