Kebanyakan orang, pergi ke Lombok karena banyaknya wisata pantai yang ada di sana. Nggak salah memang, karena wisata pantai yang disajikan oleh Lombok seolah membius traveller. Laut yang jernih bertemu dengan pantai yang bersih meskipun sudah banyak pengunjung yang datang. Eits, tapi hanya wisata laut saja yang disajikan oleh Lombok? Tentunya nggak dong.
Sebutlah wisata budaya Desa Sade, yang berada di Lombok Tengah. Sebuah desa yang memang sudah dikonsentrasikan oleh pemerintah Lombok untuk mengenalkan budaya asli salah satu suku di Lombok, suku Sasak.
Sebagai perkenalan dulu ya, suku Sasak merupakan suku di Lombok yang mulai dari dulu sampai sekarang masyarakat aslinya menganut agama islam. Bermula dari kedatangan sunan Kalijaga ke Lombok pada abad ke-14, yang melewati pantai di Lombok Barat dan menyebarkan agama islam pada suku Sasak ini. Namun karena masyarakat suku Sasak masih memegang kepercayaan dengan teguh, janganlah heran ketika tiba di desa Sade, ada beberapa aktifitas keagamaan yang bercampur dengan aktifitas kepercayaan. Wanitanya tidak berhijab, tidak menyebut kata ‘sholat’ melainkan dengan sebutan ‘sembahyang’, lantai rumah yang masih dicampur dengan kotoran sapi, dan masih ada sesajen yang diletakkan di beberapa sudut desa.
Well, di luar itu semua, desa Sade memang memiliki daya tarik tersendiri. Saya dan rombongan, disambut dengan gapura desa berbentuk atap rumah asli suku Lombok yang terbuat dari jerami. Di sana, sudah disediakan guide khusus dari desa Sade dan mengantarkan rombongan kami untuk berkeliling desa.
Sebutlah wisata budaya Desa Sade, yang berada di Lombok Tengah. Sebuah desa yang memang sudah dikonsentrasikan oleh pemerintah Lombok untuk mengenalkan budaya asli salah satu suku di Lombok, suku Sasak.
Sebagai perkenalan dulu ya, suku Sasak merupakan suku di Lombok yang mulai dari dulu sampai sekarang masyarakat aslinya menganut agama islam. Bermula dari kedatangan sunan Kalijaga ke Lombok pada abad ke-14, yang melewati pantai di Lombok Barat dan menyebarkan agama islam pada suku Sasak ini. Namun karena masyarakat suku Sasak masih memegang kepercayaan dengan teguh, janganlah heran ketika tiba di desa Sade, ada beberapa aktifitas keagamaan yang bercampur dengan aktifitas kepercayaan. Wanitanya tidak berhijab, tidak menyebut kata ‘sholat’ melainkan dengan sebutan ‘sembahyang’, lantai rumah yang masih dicampur dengan kotoran sapi, dan masih ada sesajen yang diletakkan di beberapa sudut desa.
Well, di luar itu semua, desa Sade memang memiliki daya tarik tersendiri. Saya dan rombongan, disambut dengan gapura desa berbentuk atap rumah asli suku Lombok yang terbuat dari jerami. Di sana, sudah disediakan guide khusus dari desa Sade dan mengantarkan rombongan kami untuk berkeliling desa.
Salah satu yang membuat saya penasaran dengan Lombok adalah gimana sih proses memintal benang dan menenun kain khas Lombok itu. Ketika teman-teman keliling desa, saya memisahkan diri untuk melihat proses menenun. Ada seorang ibu yang duduk di sebuah ‘amben’ dengan alat tenunnya. Saat saya minta beliau untuk menenun, dia mau. Hihihi, hilang sudah deh penasaran saya. Lihat prosesnya, nggak heran kalau harganya bisa mahal sekali. Selembar paling murah IDR 200.000 dengan motif yang nggak terlalu rumit. Kalau motifnya rumit, bisa lebih dari IDR 1.000.000. Selain prosesnya yang rumit, lama pembuatan untuk selembar kain adalah minimal satu minggu. Itu belum digabung dengan proses pemintalan benang yang juga masih secara tradisional.
Kain-kain Sasak yang harganya sebanding dengan prosesnya :) |
Saat keliling desa, saya lihat ada seorang nenek yang duduk di belakang alat pemintal benang tradisional yang terbuat dari kayu. Kalau nggak tiga perempuan yang ada di depannya bilang kalau nenek itu sedang memintal benang, saya nggak bakalan ngeh kalau itu adalah alat pintal. Haiyya, jelaslah. Selama ini saya ngertinya alat pintal tradisional itu gimana ya dari film-film besutan Disney. Kalau yang asli, ya baru kali ini. Wkwkw..
Memintal benang :) |
Mungkin tahu kalau saya penasaran sama kerjanya alat pintal ini, akhirnya nenek itu menggerakkan alat pintal dengan tangannya. Dan saya kagum! Biarlah dibilang katrok atau apalah, karena beneran, baru ngerti cara kerjanya seperti itu. Masih juga belum ilang kagumnya saya, tiga wanita yang salah satunya sedang menggendong anak bercerita kalau kapuk yang tidak diberi warna apapun itu adalah warna asli benang. Putih. Sedangkan jika ingin benangnya berwarna, bisa diberi warna dari sari tumbuhan di sekitar desa. Contohnya, warna kuning dari kunyit, biru dari tumbuhan donilla dan merah dari kayu. Nah, percaya kan mahalnya kain Sasak itu karena apa?
Pernah dengar lantai rumah yang dicampur dengan kotoran sapi supaya suhu rumah tetap terasa hangat? Dari tiga wanita itu juga saya ngerti gimana prosesnya. Tetapi karena sekarang sudah modern, lantai yang dicampur oleh kotoran sapi itu tidaklah semua bagian lantai rumah, namun hanya bagian ‘bale’ saja. Sedangkan bagian lantai yang lain, terbuat dari semen yang dikerjakan dengan halus. Sayangnya, mereka nggak bersedia menunjukkan proses pencampurannya. Katanya sih, sudah dicampurkan tiga hari yang lalu. Harus menunggu sekitar dua minggu, barulah diberi kotoran sapi lagi.
Bagian dalam rumah di desa Sade :) |
Apa lagi yang ada di sana?
Masih banyak. Seperti kebiasaan wanita melahirkan yang tidak pernah dibawa ke bidan atau dokter tapi wajib melahirkan di dalam rumah dengan bantuan dukun. Kemudian, bayi yang baru lahir itu tadi nggak boleh dibawa keluar dulu sampai jangka waktu tertentu. Kalau anak pertama, sembilan minggu, kalau anak kedua enam minggu. Jadi mikir, apa si anak nggak sakit ya nggak pakai sun bathing? Atau apa nggak sakit karena nggak kena udara segar dari luar rumah sejak lahir? Tapi nyatanya, bayi yang digendong oleh salah satu ibu itu, badannya tampak sehat, gemuk, minum susunya glek-glek dan responnya bagus saat saya sentuh.
Saat saya keliling desa, banyak wanita desa Sade yang menjual oleh-oleh, baik berupa kain, kaos khas Lombok, tas dari kain tenun, gelang dari benang yang ditenun secara tradisional maupun gantungan kunci. Ketika saya menawar sebuah kaos ukuran anak-anak, penjualnya nggak mau menurunkan harga jual sesuai permintaan saya. Dia bilang, kalau hasil jualnya akan dibagi lima dengan pedagang lain yang juga punya lapak di sudut desa lainnya. Seolah, mereka memiliki kelompok-kelompok tersendiri untuk menentukan harga jual dan untung yang mereka raih. Salah satu bentuk kerukunan yang belum pernah saya temui.
Menurut guide rombongan kami, ada kewajiban dari masyarakat sana untuk menjaga kearifan lokal, selain memang pemerintah menjaga budaya asli di sana sebagai sumber penghasilan daerah dari sektor pariwisata. Itulah kenapa, meskipun jaman sudah modern, kondisi desa masih menunjukkan sisi tradisional yang kental. Bersyukurlah menjadi mereka, masih menikmati menjaga alam dan lingkungannya dengan baik, dengan budaya-budaya baik yang diturunkan turun-menurun.
Salam hangat,
Ria Rochma
***
seru ya zuh,bisa langsung melihat desa sade..aku masih lihat di tipi,semoga bisa kesana^^
BalasHapusAmiib amiin..
HapusYang pasti setelab baby lahir kan?
Seru pengalamannya mbak.
BalasHapusYg bayi itu, maksud tak boleh dibawa kelaur rumah maksudnya keluar area rumah, mbak. Teras dan pekarangan termasuk rumah. Jadi tetep ada dede atau sun bathing di area rumah. Cmiw
Oh gitu ya, Mbak. Makasi tambahan infonya, mbak Susi :)
HapusMembayangkan lantai rumah dengan kotoran sapi... duh, gimana itu ya?
BalasHapusHehehe.. Aku juga awalnya ga bisa bayangkan kok, mak. Tp nyatanya, mereka nyaman gitu
HapusKainnya bagus2 warna2 solid. Cerah.
BalasHapusIya, warnanya cerah, mak.
Hapusweee masih alami bgt yak di sana.. Kapan bisa ke Lombok ya?
BalasHapusSemoga sebentar lagi, ya Jiah :)
HapusAsyiknya bisa ke Lombok, kapan ya Aku bisa sampai ke sana hehehe #ngetripseru
BalasHapusInsyaAllah bentar lagi, Kakak :)
HapusWarna kainnya cantik-cantik banget. :')
BalasHapusIyaaaa.. Warna kainnya bikin mata tertarik :)
Hapusapik yo mbak
BalasHapusIyo mbak Nurul, apik banget
HapusSehabis ibu yang menenun tadi mempraktekkan cara menenun, dikau diminta membeli nggak kain tenunnya? Xixixi...soale mari foto sama orangnya langsung ditawarkan itu kainnya suruh kita beli
BalasHapusIyo bu, tapi aku ga beli. Hahaha..
HapusDan aku lupa nitip kartu pos, Mbak Ria hehehe...
BalasHapusDesa ini sangat terkenal karena ada kartu pos nya yg sdh sampai ke beberapa negara di Eropa...
Haaa??? Masa mbak? Tau gitu aku juga berburu...
HapusSejak ikut lomba blog Daihatsu Jelajah Nusantara yang salah satu tempatnya adalah Desa Sade ini, walopun kalah, saya jadi sangat terkesan dengan tempat ini. Keren banget. Semoga saya juga berkesempatan bisa ke sana kayak Mbak Ria. Aamiin... :D
BalasHapusAmiin amiin.. Semoga sebentar lagi ya, mbak Nia :)
Hapuswowww... aku baru tahu alat pintal seperti itu... Keren bangettt... You are so lucky to have the chance to go there....
BalasHapusAku juga baru tau, Mbak. Kalau ngga ke sini, mana aku tau :D
HapusSuka banget sama kain-kainnyaa
BalasHapusEmang pantas buat disukai kain-kainnya :)
HapusSemoga saya bisa berkunjung ke sana mbak :)
BalasHapusAmiin amiin :)
Hapuswajar aja harganya mahal, prosesnya juga cukup rumit
BalasHapusNgeliat keramah-tamahan penduduk lokalnya bikin aku pengen balik lg mbak, ayeeeem gt ya kalo buat hanimun. Eloooh hihihi
BalasHapusWah jadi pengen ke sana kebetulan udh bebrapa kali ke lombok tapi blom pernah ke tempat ini :)
BalasHapusSepertinya seru ya mbak, keren nih. Semoga bisa kesana suatu saat nanti
BalasHapusaku sempat ikut sholat di salah satu masjidnya mereka nih mbak
BalasHapustempat wudunya unik
masjidnya juga
someday aku kesiniii...bulan madu kali yak
BalasHapusAakkk.. Aku udah pernah kesini dan borong songket buat oleh oleh.. Murreehhh~
BalasHapusBtw GFC nya udah aku follow ya makk, #133 ditunggu follow back nya :)
Kangen sama desa Sade mbak aku,,, Memang sebagian rumah sudah modern pada lantainya sehingga tidak semua sekarang diberi campuran kotoran sapi,,, semoga desa ini tetap lestari,,, kan sayang kalau budaya luntur begitu saja oleh perkembangan zaman
BalasHapus