Saya masih ingat sekali, ketika akan memasuki SMA, ada seorang teman
dekat saya di SMP yang mengejek seorang siswa SMP kami yang mengambil keputusan
untuk mondok dan melepas kesempatan buat masuk di SMA favorit di kota kami,
Gresik. “Masa sih, ada anak SMP kita yang rela mengundurkan diri dari SMA 1
demi masuk pesantren? Padahal dia udah keterima lho.” Kata temanku waktu itu. Ada
teman yang lain menanggapi dengan menambah ejekan lain kalau anak itu tidak
bersyukur sudah diterima di sekolah yang bagus. Ada juga yang kaget dan
penasaran siapa nama tuh anak.
Saya seh senyum-senyum saja waktu teman saya bilang seperti itu. Selang
beberapa menit dari perbincangan itu, saya bilang kalau tuh anak adalah saya. Beberapa
teman kaget, beberapa tidak karena memang mereka sudah tahu. Yang lebih kaget
lagi yang mengejek saya, karena tidak menyangka kalau anak itu adalah saya.
Ya, saya hanya senyum-senyum saja. Karena jarang ada yang mengerti
dengan alasan seseorang untuk mengambil keputusan ‘menyepi’ di sebuah pondok
pesantren dan meninggalkan sekolah umum. Waktu itu, saya ingat kalau ibu saya
ingin sekali memasukkan saya ke pondok pesantren saat SMP, tapi bapak keberatan
*tentunya saya juga keberatan* karena dirasa masih kecil. Ibu mengalah, dan
menunggu saat yang tepat yaitu ketika saya SMA. Dan saya rasa memang SMA adalah
waktu yang tepat karena saya sendiri yang memiliki keinginan untuk ke pondok pesantren.
Setelah mencari informasi, saya dan keluarga memilih pondok pesantren DarulUlum, Jombang, Jawa Timur.
Di sana, saya masuk di SMA 2 Unggulan BPPT Darul Ulum karena bapak
punya pendapat kalau di SMA itu saya bisa mendalami teknologi dan pengetahuan
alam karena di bawah naungan lembaga BPPT. Saya seh, oke-oke saja. Walaupun ternyata
ketika kelas 3 SMA, saya memilih untuk masuk IPS yang pilihan saya tidak
disetujui bapak *walau akhirnya saya juga yang menang dalam pemilihan itu*.
Masuk di pondok pesantren, saya jadi memiliki banyak kenangan indah.
Banyak teman di luar kota kelahiran saya, itu adalah salah satunya. Bahkan ada
yang dari luar pulau Jawa. Saya jadi tahu tentang budaya daerah mereka, yang
ternyata sangat beraneka ragam *pukul kepala sendiri*. Apalagi kalau
mendengarkan mereka berbicara dengan bahasa daerah asal dengan sesama teman
yang dari daerah yang sama. Terdengar unik, karena tidak familiar di telinga. Kadang,
saya minta diajari, tapi kok ya nggak bisa-bisa. Dasar emang otak saya ini
lemah di bahasa.
Yang seru lagi adalah, kekompakan yang kami rasakan yang *mungkin*
nggak di dapat di luar pesantren. Kita kompak bareng kalau mau berangkat
sekolah, karena berangkatnya bareng-bareng dari asrama. Atau, kompak makan
bareng di kantin soalnya enak makan rame-rame. Atau, kompak waktu ada kegiatan
di asrama, terutama ketika kita dapat giliran buat menampilkan sesuatu sebagai
media pengembangan kreatifitas. Atau juga ketika kita mau ujian akhir di kelas
3, kompak banget buat belajar bareng biar bisa saling tanya-tanya kalau ada
yang nggak di mengerti.
Ada juga saat paling kompak buat saya. Yaitu ketika saya dan teman-teman
satu kamar saya saling curhat di tengah lapangan basket jam 9 malam. Hihihi,
dingin iya, tapi nggak kerasa soalnya terhapus dengan tangisan dan riuhnya ketawa
kami mengenai isi curhatan. Kalau sekarang diingat-ingat, kok ya kurang kerjaan
banget kita dulu kumpul-kumpulnya di lapangan. Kenapa nggak di kamar ajah? Kan lebih
anget, bisa sambil makan-makan pula. Hahaha..
Tapi saat paling menyedihkan adalah ketika kami menyadari bahwa waktu
kami untuk bersama akan habis ketika hari perpisahan itu semakin dekat. Nggak kebayang
berapa lembar tissue yang nanti akan kami habiskan atau seberapa basah jilbab
yang kami pakai saat perpisahan nanti. Kalau kita ingin ketemu setelah
kelulusan, akan banyak hal yang nantinya akan dikorbankan. Seperti waktu, biaya
dan tentunya juga tenaga karena lokasi kami berjauhan. Sehingga, ketika ada
kabar kalau akan diadakan reuni angkatan atau reuni semua angkatan, itu adalah
kabar yang ditunggu-tunggu. Karena kita bisa ber-hahahihi sambil saling kasih
kabar terbaru.
Saat reuni satu angkatan di Malang, Jawa Timur, tahun 2007 |
Halal bi halal tahun 2008 |
Setelah lulus SMA dan keluar dari pondok pesantren, saya juga masih
merantau untuk kuliah di Malang selama 4 tahun. Tapi karena saya tinggal di
kos-kos-an dan aktivitas anak kos yang bejibun *halah* dan tidak sama, hubungan
saya dengan anak kos tidak seerat seperti dengan teman-teman di pondok
pesantren. *iri liat cerita ‘Anak Kos Dodol’*
Bagi saya, merantau itu tidak menyedihkan karena jauh dari keluarga. Sedih
memang iya, karena waktu untuk ketemu dengan keluarga terbatas sekali. Tetapi, itu
semua bisa digantikan dengan indahnya tawa dan kebersamaan dengan teman
seperantauan. Dan lagi, diperantauan itu banyak pelajaran yang diperoleh terutama
pada masalah tanggung jawab. Artinya, saya nggak menyesal sudah hidup di
perantauan selama 7 tahun.
Artikel ini diikutkan dalam Giveaway gendu-gendu rasa perantau
Seru ya pengalaman mondoknya, kalau saya belum pernah mondok di pesantren, mondoknya di rumahsakit wakaka..beda ya? salam kenal mba rochma
BalasHapushihihi, itu namanya nggak mondok tapi menginap. :))
Hapussalam kenal juga..
eh,kok g ketemu ya???hihihihi
BalasHapusbelom kenal dirimu.....!!!! :))
Hapusrame banget ya :)
BalasHapusini masih belom semua lho mbak :)
Hapusmbak apa aj yang harus dipelajari biar masuk du 2
BalasHapuskalau yang sekarang, saya nggak ngerti lagi gimana sistemnya ya. karena saya kan udah masuk DU2 dari tahun 2001, udah 14 tahun yang lalu.
HapusKalau kata teman-teman yang anaknya masuk sana atau sodaranya masuk sana, yang pasti itu adalah tes baca tulis al-quran juga tes pengetahuan umum. Coba pelajari aja itu dulu dari sekarang. Semoga berhasil :)