|
credit |
"Oke, oke, saya cek nanti."
"Ah, enggak usah terlalu dipikirkan. Asal mulus saja ke depannya, saya oke oke saja kok."
"Baiklah. Saya juga ucapkan terima kasih."
Tut. Kemudian handphone diletakkan di atas meja.
"Sudah ditransfer, Bos."
"Jumlahnya?"
"Sesuai dengan perjanjian, Bos."
"Bagus. Ambil lima persennya buat kamu."
"Terima kasih, Bos."
Keduanya diam. Hanya terdengar suara kriet dari kursi putar yang diduduki si bos.
"Kamu percaya dengan keindahan saling membantu, Man?"
"Percaya, Bos."
"Apalagi aku, Man. Sangat percaya. Bapakku yang mengajarkan sejak kecil tentang membantu orang lain."
Yang dipanggil Man, masih terdiam.
"Bapakku juga yang mengajarkan bagaimana cara-caranya. Dia teliti sekali menjelaskannya. Aku sering tahu, bapakku mampu merinci setiap langkah."
"Ohya, bahkan bapakku ketika membantu orang lain, selalu menuliskan detailnya dengan rinci di agendanya. Jumlahnya pun dia rinci."
"Wow, Bos sampai tahu sejelas itu?"
"Bapakku yang memberitahu. Dan mengajariku lho, Man."
"Pantas saja, Bos lihai dan jeli menyelesaikan semua order."
Si bos tertawa. Lalu sunyi kembali.
"Tapi bapakku tidak mujur."
"Ya, mati di penjara."
"Dan Anda yang melanjutkan bisnis bapak Anda."
"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Istilah itu bener lho, Man. Hahaha.."
Si bos kembali diam setelah tertawa. Man juga ikut diam.
"Bapakku yang memulai bisnis pemalsuan ijasah. Aku yang melebarkan sayap bisnisnya ke arah lain."
"Anda enggak takut nantinya seperti bapak Anda? Berakhir di penjara?"
"Ah Man, jalani saja sekarang. Urusan besok masuk penjara atau enggak, bisa diatur dengan uang."
"Aku ini niatnya bantu orang, Man."
Si bos kembali tertawa. Tapi si Man masih diam.