credit |
Postingan ini sebagai bentuk kekesalan saya
terhadap ucapan seorang rekan kerja beberapa hari yang lalu *udah lewat kali*, yang tanpa dia sadari sudah
menyinggung saya.
Dimulai dari pertanyaan dia tentang umur dan
jenis kelamin anak saya. Kemudian ketika dia tanya anak saya sudah bisa apa,
saya jawab dengan semangat kalau sudah bisa lari. Jadinya, saya sebagai ibunya
sedikit ngos-ngosan kalau ngejar dia.
Dengan santai dan tertawa mengejek *ups, saya
tahu raut wajah mengejek itu seperti apa*, dia bilang, "Halah, orang bukan
kamu yang ngasuh."
Spontan saya kaget. Maksudnya apa? Akhirnya
saya tanya balik maksud dia apa. Dijawab dengan balik tanya ke saya,
"Sekarang sama ibumu kan anakmu?"
Saya mengangguk. Kemudian dia tertawa dan
bilang, "Yang capek itu bukan kamu, tapi ibumu. Paling kamu sampai rumah,
anakmu sudah tidur."
"Ye, bapak salah. Aku sampai rumah, anakku
sudah bangun. Dia tidur siang setengah dua belas kok. Dan rutin seperti
itu."
Tapi tampaknya apa yang saya katakan ini tidak
berdampak pada perubahan pandangan dia. Buktinya dia masih tertawa sambil
mengibas-ngibaskan tangan.
Deg. Rasanya seperti ditusuk belati dia
bersikap begitu. Memang ibu saya yang mengasuh anak saya, atas kemauan beliau
sendiri. Bahkan ketika saya dan suami menawarkan baby sitter untuk Arya, beliau
malah menolak mentah-mentah. "Biar ta Nduk ibu yang ngasuh. Wong kamu
ngajar cuma setengah hari."
Lha kalau ibu saya menjawab seperti itu, saya
bisa berbuat apa? Tetap mencarikan baby sitter untuk Arya, sedangkan beliau
diam saja di rumah, begitu? Oh, bukan saya memperbudak beliau, tapi mengasuh
Arya memang keinginan beliau sendiri. Kata beliau saat saya menawarkan kembali
menyewa baby sitter karena melihat beliau sepertinya kecapekan, "Lha
timbang kamu nyewa baby sitter, ibu tenguk-tenguk
tok, mending uangmu simpen ae buat
tabungane Arya. Arya iku hiburane ibu
bapak, Nduk."
Oh, siapa seh yang nggak ingin sehari penuh
dengan anaknya sendiri? Saya juga lho. Apalagi kalau Arya sudah bisa bergaya
macam-macam seperti sekarang. Kelucuan, rengekan, senyum dia, selalu saya
rindukan kalau saya di tempat kerja. Dan yang paling mengesankan kalau saya
sudah sampai rumah, Arya langsung lari menunggui saya, dan langsung minta
gendong kalau saya sudah turun dari motor. Oh, itu sungguh hal yang berkesan
sekali untuk saya sebagai ibu yang bekerja.
Ups, sebelum kembali ke topik rasa capek, saya
pernah dengar bahwa ibu Hasri Ainun Habibie menolak anaknya diasuh orang lain
karena beliau tidak ingin kehilangan waktu untuk dekat dengan anak-anaknya. Ya,
itu adalah pilihan bu Ainun, tapi saat ini pilihan saya bukan itu *maaf untuk
penggemar bu Ainun*. Saya masih memilih untuk bekerja, mengaplikasikan ilmu
yang saya dapat jaman sekolah dulu, dan meraih impian saya. Tampak egois
memang, kesannya saya menomerduakan anak saya. Tapi tidak, anak saya tetap
nomer satu. Hanya saja antara pekerjaan dan anak memiliki ruang masing-masing
dalam kehidupan saya, tapi kedua ruang itu berhubungan.
Capek? Ya, saya capek. Meskipun kerja saya
hanya sampai siang *mentok sore jam 3*, tapi sampai rumah saya langsung
menggantikan ibu mengasuh Arya. Tampaknya memang enak sekali saya mengasuh Arya
hanya beberapa jam saja sebelum dia tidur di malam hari, tapi bagi saya, tiap
pilihan memiliki resiko. Menjadi full mom atau working mom, tetap ada
resikonya. Dan keduanya memiliki resiko yang sama, yaitu capek. Full mom, enak
kali ketemu terus sama anaknya. Pengawasan anak, pendidikan dini di rumah, pembentukan
karakter, penanaman norma, bisa dilakukan si ibu secara langsung tanpa
diwakilkan pada siapa pun. Intensitas ketemu anak juga seharian, rasa kangen
juga bisa cepat hilang. Kalau working mom, intensitas ketemu dengan anak
sedikit. Kadang ada juga yang berangkat, anaknya masih tidur, dan sampai rumah,
anaknya udah tidur. Belum lagi, working mom harus memikirkan tentang hal-hal
krusial macam pengawasan anak, pendidikan dini di rumah, pembentukan karakter
dan penanaman norma. Harus kepada siapakah hal-hal krusial itu diberikan ke
anak dengan bantuan orang yang tepat? Karena, tidak bisa sembarangan
'mengalihkan' tugas orang tua yang satu ini kepada orang lain. Kalau ternyata
pilihannya salah, yang menyesal juga si working mom itu sendiri.
Capek? Oh jelas itu. Full mom pastilah capek.
Menjaga anak dan mendidik anak 24 jam itu pasti membutuhkan tenaga dan
kesabaran tingkat dewa. Apalagi kalau anaknya lebih dari satu. Teman-teman saya
yang full mom, sering mengeluhkan tentang ini. Tapi mereka syukuri karena
mereka punya waktu lebih buat anaknya. Sedangkan working mom, ah, sama capeknya
kok. Secara kita udah capek sama kerjaan, sampai rumah juga masih dihadapkan
pada kenyataan merawat anak. Kesabaran juga sama-sama diuji karena rasa capek
tadi.
Tapi semua itu, baik working mom atau full mom,
capeknya tidak akan terasa berat kalau suami mau membantu sebagian tugas istri.
Tapi, kapan-kapan aja deh saya bicara tentang ini.
Jadi, sebagai orang yang sudah berkeluarga,
mungkin ada baiknya kalau anda tidak mengatakan ke seorang ibu kalau ibu itu
tidak capek merawat anaknya. Seorang ibu itu tanggung jawabnya besar kepada
anak dan keluarga*ingat yang krusial tadi yah*, makanya tidak salah ketika ada
istilah 'Surga di bawah telapak kaki ibu'. Artinya, hormatilah seorang ibu,
meskipun ibu itu lebih muda daripada anda.
Sabar mba.. Memang banyak orang yang masih melihat ibu sebelah mata.. :)
BalasHapusBut I'm proud to be a mommy.. :)
sayangnya yang menyinggung saya itu anaknya udah besar, tiga pula. punya anak itu menyenangkan dan ladang ibadah untuk kedua orang tua. tapi masih banyak yang menyepelekan peran ibu.
HapusWah, Mama-ku juga seorang working mom.. Tapi aku gak pernah kok ngerasa dinomor-duakan dengan pekerjaannya. Aku bangga punya Mama yang wanita karir dan tulus memperjuangkan pendidikan anaknya :) Mama kerja bukan karena dia berambisi dan lebih mementingkan karir.. tapi untuk uang sekolahku dan masa depanku :)
BalasHapusSalam kenal :)
semoga anak saya nanti juga bangga pada saya, seperti kamu ke mamamu :)
HapusTidak semua orang diberikan option hidup seperti kondisi kehidupan bu ainun. Sya yakin jika karir bu ainun hanya untuk aktualisasi beliau *maaf juga untuk penggemar bu ainun* sehingga beliau bisa meninggalkannya dengan mudah.
BalasHapusNamun beberapa keluarga tidak dianugerahi hal semacam itu dan harus 'membagi' diri lebih keras.
Hidup hanya sekedar sawang sinawang menurut saya. Tidak akan benar mengetahui apa yang terjadi sampai mengalaminya sendiri. Semangat yuk ah ;)
setuju saya kalau hidup sawang sinawang.. artinya jangan menjelek-jelekkan kalau belum mengalami sendiri. :)
Hapussabar zuzuh sayang.....
BalasHapusitu namanya iri,iri tanda tak mampu....okey???yg penting kita tidak menelantarkan anugerah Allah,udah itu aja....semangattttttt!!!!lempar cokelat **mwah tlepoks
coklatnya diterimaaaaaa...
Hapusminta lagi sekeranjang dunk, is..
*big hugh*
yeaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,g ada kotak2 lagiiii...***seneng kl gini betah bw xixixixi
BalasHapushahahaha, maap ye kemaren kasih captcha... :))
Hapushemmmm, abaikan mrk yg gak menghargai pilihan2 kita sbgi seorang ibu :)
BalasHapusbetul mbak irma,
Hapusabaikan saja. lewat saja. senyum sajaaa :)
sebagai ibu pekerja luar rumah dan suka ninggalin anak, ikut merasakan kesal dan capeknya mbak.
BalasHapussmoga kita selalu diberi kesehatan dan kekuatan yah.
selalu ingat kalo yang kita kerjakan di luar rumah juga semata demi anak-anak kok.
@masrafa.com : iya mbak, selalu ingat seperti itu. jadinya hati selalu lega dan belajar ikhlas :)
BalasHapusyeyeyeahh, memang gampang bangeeettt kalo komentar mah mbak hehehe. Saya dukung mbak, sesama WM hehe. Udah nggak usah didengerin kata orang mah..
BalasHapus