Penggunaan bahasa indonesia dan bahasa daerah kadang bikin kita bingung sendiri, terutama saat kita menggunakan kedua bahasa itu di kehidupan kita sehari-hari. Kadang ya, kalau di tempat saya kerja, ada tuh teman-teman kerja yang pakai bahasa indonesia terus, atau bahasa jawa melulu, atau kadang malah campur aduk kaya es campur. Kalau udah campur aduk gitu, sayanya neh yang bingung mau naruh posisi di mana. Ya kalau lawan bicaranya saya ini seumuran ma saya seh, enggak masalah. Campur-campur sambil cekikikan, oke oke ajah. Lha kalau lebih tua? Waduh, ntar dikira nggak sopan lagi kalau bahasanya campur-campur. Biasanya seh, saya cuma diem aja dengerin mereka (yang udah tua tadi) lagi cerita. Baru kalau dimintai pendapat, saya baru ngomong. Itu pun penggunaan bahasanya kudu hati-hati banget.
Dunia perbisnisan sekarang sudah tidak lagi didominasi dengan laki-laki. Seiring dengan hadirnya teknologi, perempuan sekarang mulai beraksi. Bagaimana tidak, tidak bisa dipungkiri lagi lho, kalau dunia bisnis para perempuan Indonesia itu sangat dipengaruhi dengan yang namanya teknologi. Oh, bukan teknologi yang terlalu rumit macam mesin pembuat bahan dasar kosmetik seperti di pabrik tempat suami saya kerja, tapi teknologi canggih yang tidak terlalu rumit jika mau dipelajari, dan jangkauannya bisa dilakukan di rumah.
Apalagi kalau bukan internet. Dan dengan menggunakan internet inilah, perempuan Indonesia bisa menjalankan bisnisnya di rumah. Sebut saja namanya online shop.
Arif memandang sepatu kets merah ditangannya untuk kesekian kalinya. Sepatu itu tidak bagus, bahkan lubang sudah jadi hiasan paling menarik di beberapa bagian. Namun, sepatu itulah yang tiap hari menjadi teman yang tak pernah mengeluh saat dia menjual koran di perempatan dekat Gedung Nasional Indonesia, di kotanya.
Dia menghembuskan nafas, mencoba terus memupuk ikhlas saat bu Yitno menanyainya kembali apa dia benar-benar mau meloakkan sepatunya.
“Iya deh Bu, jadi. Tapi kasih harga tinggi ya,” jawab Arif sambil memohon sepatunya layak mendapatkan harga tinggi, mengingat kesetiaan dia selama ini.
“Wes jebol kabeh ngunu,” ucap bu Yitno saat menoleh sebentar ke arah sepatu Arif. Jawaban bu Yitno membuat Arif kecewa. Apa sih yang bisa diharapkan dari sepatu yang sudah penuh lubang? Dia membenarkan jawaban bu Yitno dalam hati.
“Yo wes, lima ribu ae.”
“Tujuh ribu yo, Bu.” Arif mencoba menawar. Wanita paruh baya didepannya ini terkenal perhitungan. Cacat di barang sekecil apapun akan jadi hitungan buat dia. Setelah menawar, Arif memandang bu Yitno dengan wajah dibuat seolah memelas.
“Enam ribu lima ratus, ae,” Bu Yitno mengeluarkan uang dari laci mejanya dan melemparnya pelan di depan Arif. “Nek ora gelem, yo wes,” ucapnya sambil menoleh ke arah lain tapi matanya melirik ke arah Arif.
Tanpa pikir panjang, Arif mengambil uang yang sudah tak rapi lagi bentuknya. Sambil bersyukur dalam hati, ditaruhnya sepatu ketsnya di atas meja.
“Makasih, Bu.” Arif tersenyum kemudian cepat-cepat keluar dari rumah bu Yitno yang penuh dengan barang-barang loak.
Hati Arif gembira, setidaknya untuk bulan ini. Ada lega di hatinya untuk menambah biaya pembelian obat darah tinggi untuk ibunya yang harus rutin dibeli tiap bulan. Teringat lagi perkataan apoteker beberapa hari yang lalu.
“Maaf Dek, uangnya enggak cukup. Harga obatnya naik.”
**
Keterangan :
1. Wes jebol kabeh ngunu : Sudah lubang semua, gitu.
2. Nek ora gelem, yo wes : Kalau tidak mau, ya sudah.
Seorang siswa, sebut saja namanya Aji, merupakan siswa yang masuk di program unggulan di kelas 9 karena kemampuan akademisnya yang baik. Namun, menjelang UN, sering terlibat perkelahian dengan siswa lain dikarenakan masalah sepele.
Saat konseling, dia menyampaikan bahwa dia merasa sedikit tertekan dengan target kelulusan yang dia buat sendiri. Jika tidak dapat memenuhi targetnya, maka akan merasa kegagalan yang sangat. Karena menurutnya, keluarga mengandalkan dia. Adik satu-satunya tidak terlalu bisa dibanggakan dikarenakan nilai akademisnya biasa-biasa saja. Hal inilah yang menjadikan dia mudah tersulut emosi marahnya.
Saat saya bertanya, mengapa karena awalnya guyonan, kok malah bertengkar? Dia mengatakan bahwa dia adalah pribadi yang suka bercanda. Dan dia sadar, kalau seringkali guyonan itu mengarah ke saling usil dan ejek-mengejek akhirnya membuat kedua pihak tersinggung. Dan ini sering terjadi pula saat SD sampai di kelas 8 (crosscheck dengan data bimbingan saat kelas 8 dulu dan hasil wawancara dengan Aji).
Beberapa hari setelah prosesi konseling dilakukan, orang tua Aji datang menemui saya dan wali kelasnya. Tujuannya untuk memperjelas masalah yang sedang dialami anaknya. Dari hasil wawancara, terungkap bahwa ibunya Aji, saat Aji masih anak-anak, sangat membatasi pergaulan Aji karena mengetahui sifat Aji yang suka usil. Karena takut para tetangga tersinggung karena anak-anaknya sering diusili Aji, akhirnya ibunya Aji 'mengurung' Aji dengan cara menggembok pintu pagar saat Aji di rumah dan memberikan fasilitas lengkap kepada Aji.
Dari yang diungkap ibunya Aji, saya bisa mengambil kesimpulan. Bahwa anak yang terlalu dibatasi pergaulannya oleh orangtuanya saat kecil akan menyebabkan si anak kurang mampu untuk mengembangkan ketrampilan emosinya. Terutama saat melakukan interaksi dengan teman sebaya. Saya mengerti, pasti ada alasan untuk tiap orang tuan membatasi pergaulan anaknya pastinya memiliki tujuan yang baik. Tapi, pastinya orangtua juga perlu memahami bahwa berinteraksi dengan teman-teman sebayanya saat masih anak-anak akan memperkaya ketrampilan bersosialisasinya saat remaja nanti.
Imunisasi pertama Arya di puskesmas. BCg dan Polio 1. Deg-degan waktu mau di suntik, jangan-jangan nangis melulu. Alhamdulillah, nangisnya hanya waktu di suntik. Setelah itu? Lanjut tidur.
Persimpangan jalan itu sudah tampak di depan mata Silvi. Jemarinya bertautan, menyamarkan gemetar yang sedari tadi menyergap tubuhnya. Pikirannya kacau, antara cintanya pada Rudi dan masa depannya.
“Rud! Berhenti!”
Rudi menginjak rem mobil kuat-kuat, membuat dada Silvi hampir terbentur dashboard. “Ada apa, Sayang? Kenapa menyuruhku berhenti?”Rudi melihat mimik wajah Silvi tak lagi bahagia. Sesal menyesapi hatinya.
Silvi menggeleng, melepas jemarinya dari genggaman Rudi. “Tidak Rud, aku tidak bisa.”
“Kenapa ragu lagi, Sayang? Jalan kita sudah di depan.” Rudi menunjuk persimpangan jalan di depan mereka.
“Tidak Rud, ini salah!”
“Apanya yang salah? Ini sudah benar, Sayang.”
“Tapi aku ingin selesaikan kuliahku dulu, Rud.”
“Iya, iya. Aku akan atur itu! Tapi jangan ragu pergi denganku.”
Silvi diam. Di matanya tergambar wajah mama papanya dan mas Yudi yang diperkenalkan oleh papanya sebagai calon suaminya. Tanpa pikir panjang, Silvi keluar dari mobil dan mengambil tas besar berisi pakaiannya.
“Apa maksudmu?! Aku sudah berusaha sejauh ini!”
“Tidak Rud, aku tidak pernah setuju dengan rencanamu mencuri uang di brankas di kantormu!”
Rudi mendelik, Silvi diam lagi sejenak. “Pergilah Rud. Bawa uang itu, tapi lepaskan aku!” *** 188 words.
"Yuk, ikutan QUIZ MONDAY FLASHFICTION #3 - On The Street"
Beberapa waktu yang lalu, pas lagi buka facebook pakai handphone, liat statusnya uncle lozz yang isinya tentang keengganan uncle tentang kebiasaan jelek ejek-mengejek orang tua. Habis ngasih komen di status uncle, eh, dianya malah ngasih saya sebuah link tulisan dia, kalau enggak salah itu tulisan sekitar satu tahun yang lalu.
Isi tulisan uncle lozz tentang ketidaksukaan dia tentang sebuah foto wanita tua yang di share di facebook. Kok uncle nggak suka? Hm, pastinya enggak suka dong kalau fotonya itu adalah foto wanita tua yang sudah diedit dan diberi pakaian seksi, lalu dijadikan bahan guyonan.
Setelah baca statusnya uncle Lozz, saya jadi ingat dengan masalah siswa saya yang terjadi seminggu sebelum UN kemarin. Sebut saja namanya Diana. Kondisi keluarga yang miskin menempa dia menjadi remaja yang tidak lemah, pintar dan tegar. Tapi hari itu, dia menemui saya dengan menangis dan jongkok lemas di samping meja kerja saya. Setelah saya tanya, dia menjawab dengan suara terbata-bata, kalau ada sebuah foto wanita seksi yang mirip dengannya diupload dari akun facebooknya. Teman-temannya menanyakan kebenaran foto itu. Ada beberapa yang ragu, ada beberapa yang percaya kalau itu bukan Diana, tapi ada juga yang menggosipkan dia.
Ya Allah, masalah apa lagi ini? Seminggu sebelum UN pula.
Dalam sesi wawancara hari itu, dia menyampaikan kalau fotonya sudah dia hapus dan password facebook dan email sudah dia ganti. Saya hanya diam, tak bisa memberikan solusi apa-apa padanya karena dia sudah melakukan sendiri langkah-langkah pengamanan pada akun sosial media miliknya. Hanya penguatan hati yang saya berikan supaya masalah ini tidak mengganggu UN-nya nanti.
Dua hari sebelum UN, saya tanyakan lagi perkembangan masalahnya. Dia sampaikan kalau kejadian itu karena dia teledor saat menyimpan alamat email dan password yang dia gunakan untuk login di facebook sehingga ada orang lain yang menemukan alamat email itu dan mengupload foto seksi itu di facebooknya.
Ah, hanya karena sebuah keteledoran yang sering saya ingatkan pada siswa-siswa saya. Jujur, saya kecewa saat itu karena Diana teledor, tak mengindahkan peringatan dari saya. Tapi ya, gimana lagi? Masa mau saya bentak?
Dalam masalah Diana, yang saya acungi jempol adalah saat dia tegar menghadapi cercaan dan kecurigaan teman-temannya tentang foto itu. Diana cerita, kalau dia sudah menjelaskan (bahkan sampai menangis di depan teman-temannya) kalau itu bukan fotonya. Yang membuat dia semakin menangis keras saat menemui saya adalah karena rasa tidak percaya teman-temannya dan berujung pada mengejek dia.
Ya, mengejek.
Sepertinya aktivitas mengejek sekarang ini menjadi sebuah budaya yang tak lagi perlu disikapi serius. Sehingga banyak orang yang beranggapan kalau mengejek itu adalah hal yang biasa dan enggak perlu-perlu amat diseriusi.
Masalah Diana dan cerita dari uncle Lozz, menjadi menarik bagi saya karena dua hal. Foto di akun sosial media yang 'disalahgunakan' dan aktifitas mengejek orang lain. Itu bikin saya gregetan tau!
Bukan hak kita untuk mengupload foto yang tidak sesuai dengan diri kita, seperti pada cerita uncle Lozz. Bukan hak kita untuk usil mengupload foto yang mana foto itu bukan foto kita di akun yang kita jebol, seperti yang terjadi pada Diana. Dan bukan hal yang harus dijadikan bahan ejekan saat 'foto-foto' menjadi sasaran niatan tidak baik orang lain.
Gimana coba saat kita jadi orang yang mendapat masalah seperti itu? Gimana coba perasaan keluarga kita saat tahu tentang masalah ini? Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, bikin hati miris!
Saya enggak tahu, apakah masalah seperti ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan atau tidak. Tapi, cobalah berempati jika ada masalah seperti ini terjadi pada orang terdekat anda. Bisa dengan tidak mencurigainya berlebihan, tidak mengejeknya, menguatkan hatinya atau membantunya menyelesaikan masalahnya. Itu lebih baik. Karena saya sendiri yakin kok, setiap manusia itu memiliki kebaikan dalam dirinya.
Membaca artikel milik mbak Evi tentang aturan kesuksesan seseorang yang berbeda-beda, saya jadi ingat tentang beberapa aturan kesuksesan beberapa orang yang saya temui.
Bapak saya, lulusan SMK yang bekerja di salah satu pabrik BUMN di Gresik. Saat saya SMA dan adik saya masih SMP, beliau pernah mengungkapkan tentang keinginan beliau untuk menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang lebih tinggi daripada beliau. Alhamdulillah, keinginan beliau terpenuhi. Tentunya, dengan beberapa aturan yang beliau 'paksa' kepada saya dan adik saya untuk kami lakukan.
Tetangga saya, tujuh tahun yang lalu mengangkat keponakannya karena ibunya meninggal dan ayahnya pergi entah kemana. Beliau sering menceritakan kalau dia akan merasa bahagia kalau si anak tadi menjadi anak yang penurut, pintar dan santun. Ceritanya, si anak ini sangat 'super' tingkahnya (dalam arti negatif lho!). Karena itu, tetangga saya ini memberlakukan beberapa aturan yang nantinya diharapkan bisa mengarahkan si anak jadi baik saat dewasa nanti.
Contoh lain, kepala sekolah di tempat saya mengajar. Beliau punya keinginan untuk menjadikan sekolah saya itu menjadi sekolah yang memiliki lulusan yang baik dalam pemahaman teori serta praktek dengan nilai yang baik. Karena selama ini, sekolah saya ini dikenal sebagai sekolah yang siswanya nakal dan kualitas siswanya tidak terlalu baik. Ya, akhirnya beliau menerapkan beberapa strategi yang benar-benar baru untuk siswa dan guru *gurunya juga kena juga bok*. Tampaknya, kepala sekolah saya ini sudah mulai menuai hasilnya, dilihat dari jumlah lulusan yang baik hasilnya pada tahun ajaran lalu, 2011-2012.
Benar pendapat mbak Evi, kalau aturan kesuksesan seseorang itu akan berbeda untuk tiap orang. Mungkin menurut kita oke, tapi bisa jadi menurut orang lain tidak. Atau sebaliknya. Karena tiap pribadi memiliki kriteria kesuksesan tersendiri yang sesuai dengan pengalaman peribadinya, yang tentunya sudah dia perhitungkan matang dengan memikirkan resikonya.
Dan, salah satu resiko yang mungkin akan kita temui adalah berkonflik dengan orang lain. Apalagi saat ukuran kesuksesan itu bersinggungan dengan orang lain. Kok bisa? Padahal kan ukuran kesuksesan itu bernilai pribadi. Ya, betul itu. Tapi jangan lupa, ada beberapa kriteria yang nantinya akan berhubungan dengan orang lain. Bisa saja, saran, kehidupan, prinsip bahkan malah ukuran kesuksesan orang lain. Tidak mungkin kan kalau kita bersikukuh untuk meraih target kita dan kita tidak peduli dengan saran orang lain? Siapa tahu saran orang lain itu bisa jadi bahan pertimbangan yang baik untuk kita.
Bagi saya pribadi, silahkan membuat aturan-aturan kesuksesan kita sebaik mungkin, sejelas mungkin, agar target masa depan kita bisa teraih dengan baik. Misalkan toh nanti target kita tak tercapai, pastinya ada pencapaian lain yang bisa kita syukuri. Dan kalau merasa target kita gagal, dan kalau kita merasa target kita itu bisa kita susun lagi lain waktu, kita bisa menyusun ulang rencan kita dengan memikirkan aturan kesuksesan kita dan cobalah untuk belajar dari kesalahan masa lalu.
Yuk, bersemangat untuk tetap menyusun rencana-rencana kita dan menjalaninya dengan kedisiplinan sehingga kita bisa sukses nantinya *sambil menyemangati diri sendiri*. ***
Tulisan ini diikutkan pada First Giveaway Jurnal Evi Indrawanto
Di depanku, sudah ada dua gelas jus alpukat, jus kesukaanku. Di hadapanku, mas Marno sedang duduk dengan malas, menatap arus orang yang tak henti bergantian keluar masuk gerbong kereta. Kuperhatikan nota pembayaran jus atas nama mas Marno. Sedikit terbelalak aku dengan uang yang dihabiskan mas Marno untuk dua gelas jus alpukat. Tiga puluh enam ribu rupiah.
"Mas, mahal sekali." Keluhku, tapi tak ditanggapi mas Marno. Dia masih tetap memperhatikan sekitar, masih diam. Merasa kalau sikap tubuhku yang aneh karena harga yang tertera di nota, mas Marno cepat-cepat mengambil nota itu, meremasnya lalu membuang di sembarang tempat. Kemudian dia kembali diam, aku pun tak berani mengajaknya berbicara.
Menit-menit berlalu. Akhirnya kuberanikan diri berbicara dengan mas Marno. "Mas, jusnya mahal ya."
Kuperhatikan mas Marno masih diam. Tak menoleh saat aku berbicara.
"Mas.."
"Kita enggak butuh bicarakan harga jus, Is!" Sentak Marno.
"Kita bicara apa lagi, Mas? Sudah berakhir pembicaraan kita sejak semalam."
"Tapi Is, ini enggak adil buat kamu."
Aku diam sejenak, mencoba tidak mengikuti perasaanku yang memang mengatakan ini tak adil untukku. Kumantapkan hati kembali untuk tetap pada keputusan kami.
"Tak adil lagi bila Mas membagi cinta untukku, sedangkan Mbak Yun sudah hamil sekarang."
"Is.."
"Ah, sudahlah Mas. Jangan diperpanjang lagi. Toh sampai sekarang tak ada bayi di perutku," Ucapku, yang sangat kuusahakan untuk terdengar tak bergetar sedih. "Besok segera urus surat cerai kita."
"Is.."
Aku habiskan jus yang dari tadi hanya separuh aku minum. Siap-siap aku beranjak, namun jemari mas Marno menggenggam tanganku.
"Is, aku tahu kalau kamu mencintaiku."
Ya, aku mencintaimu, Mas. Sejak kita menikah dua tahun yang lalu. Ucapku dalam hati, tapi tak terucap lewat bibirku.
"Bukan masalah siapa mencintai siapa, Mas. Tapi siapa yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi orang lain."
"Itu kamu, Is!" Mas Marno sedikit berteriak, membuat genggaman mas Marno menjadi terasa sakit. Aku meringis, mas Marno melepas jemarinya.
"Mbak Yun, Mas, yang berkorban untuk kebahagian keluarga kalian! Sadarilah itu!"
Kulihat mas Marno diam, tak lagi membalas perkataanku. Aku tahu, ada cinta dalam hatinya, untukku. Tapi cinta itu tak boleh berkembang. Aku pupuskan, demi kebahagiaan mereka.
Kudengar pengumuman bahwa kereta yang akan aku naiki sudah sampai di stasiun. Pertanda bahwa aku harus segera mengakhiri perjumpaanku dengan mas Marno pagi ini. Bahkan untuk pagi-pagi selanjutnya.
"Mas, terima kasih untuk semuanya. Jagalah mbak Yun, juga bayimu. 9 tahun adalah waktu yang lama untukmu menunggu si kecil."
Mas Marno memandangku lekat. Tersirat sedih di wajahnya. Aku mengangguk, lalu mengambil koper dan tas jinjingku kemudian beranjak pergi tanpa menoleh lagi.
Ya, tanpa menoleh pada masa lalu yang menjadikanku sebagai istri kontrak supaya bisa memberi mas Marno dan mbak Yun anak untuk mereka. Meskipun akhirnya tak ada anak dari rahimku dan aku memutuskan pergi setelah mbak Yun hamil tiga bulan yang lalu.
“Kemarin aku lihat, suaminya jalan sendiri tuh di mall. Sepertinya lagi jalan-jalan sendiri, enggak sama si Mimi. Apa janjian sama perempuan lain seperti katamu, Mbakyu?”
“Mungkin dek Las. Soalnya aku sama suamiku pernah ketemu suaminya si Mimi jalan sama perempuan cantik. Waktu aku tanya ke Mimi, dia bilang kalau itu sekretarisnya. Tapi kalau sekretaris, masa jalan-jalannya di mall?” Ucap wanita gemuk yang dipanggil dengan sebutan ‘Mbakyu’ oleh wanita kurus tirus bernama Lasmini. Nama wanita gemuk itu Keni.
“Kamu kemarin juga ketemu Mimi jalan sama laki-laki yang tubuhnya gemuk kan?” Tanya Keni ke wanita lain berbaju daster tanpa lengan yang bernama Ana. Sambil memainkan poni rambut, Ana mengangguk.
“Hm, jangan-jangan Mimi sama suaminya hubungannya lagi enggak akur?” Lasmini menebak yang disusul dengan anggukan penuh semangat milik Keni. Tapi tebakan itu ditebas seketika oleh Ana.
“Kalau lagi ada masalah, kenapa coba si Mimi dibelikan mobil baru sama suaminya? Belum lagi, mereka sekeluarga kemarin baru saja jalan-jalan ke Bali.”
“Jalan-jalan kan bisa jadi alibi buat senangin hatinya Mimi dan anak-anaknya saja. Biar suaminya enggak dicurigain lagi selingkuh.” Keni menyampaikan pendapatnya, sambil menggoyangkan kipasnya. Ucapan Keni diberi anggukan kuat oleh Lasmini, yang juga menimpali dengan berita-berita lainnya yang belum tentu benar atau tidak.
*
Mimi terdiam di balik pintu pagarnya yang bentuknya bisa menyembunyikan tubuhnya yang kurus pendek dari pandangan ketiga tetangganya. Hendak membuang sampah, dia batalkan saat mendengar gosip para tetangganya tentang dirinya dan suaminya. Telinganya panas. Dibuka pintu pagar rumahnya dan dihampiri para tetangganya yang sikapnya sudah salah tingkah.
“Maaf, gosip kalian salah." Mimi berucap dengan menahan banyak kesal.
"Suamiku pergi ke mall dengan sekretarisnya, untuk belikan aku gaun sebagai hadiah ulang tahun. Dan kalian tahu? Pria gemuk itu adalah adik ibuku yang tak sengaja kami bertemu waktu di makam ibu. Mobil? Liburan ke Bali? Itu sekedar foya-foya kami untuk merayakan keberhasilan suamiku naik jabatan."
Assalamu'alaikum. Welcome. Saya Ria Rochma. Silakan menikmati blog saya yang berisi tentang lifestyle, parenting, traveling dan beauty. Untuk lebih lanjut mengenai saya dan blog ini, silakan membaca di laman About Me. Saya menerima pertanyaan dan kerjasama, langsung email di: from.missrochma@gmail.com ya. Terima kasih.