Menyusui adalah momen yang paling tidak bisa digantikan
selama menjadi ibu, bagi saya pribadi lho ya. Saya senang menyusui. Saat
menyusui Arya, saya merasa kalau Arya memang benar-benar membutuhkan saya
sebagai ibunya. Dan saya merasakan bahwa hubungan kami semakin dekat meskipun
kadang beberapa menit yang lalu penuh dengan peluh karena berbagai macam emosi
yang harus kami keluarkan. Lupakan tentang memiliki tubuh yang indah dan
payudara yang kencang. Karena menyusui, saya harus banyak makan. Karena menyusui,
diet setelah melahirkan gagal. Karena menyusui, saya rela memiliki ukuran bra
yang lebih besar satu tingkat ukurannya dan sering jadi bahan guyonan
teman-teman juga tak pernah luput menggunakan bra khusus menyusui.
Tapi, sudah hampir satu minggu ini saya tidak menyusui Arya.
Menyapih dia. Hiks, sedih. Sangat malah.
Usia Arya saat ini baru dua puluh satu bulan, kurang tiga
bulan lagi sebenarnya untuk sempurnakan program menyusui Arya selama dua tahun.
Tapi, lagi-lagi karena alasan 'setelah patah tulang' yang membuat saya harus
tega menyapih Arya. Keputusan yang tidak saya rencanakan sebelumnya. Dalam
rencana saya sebelum kecelakaan itu terjadi, saya akan mempersiapkan Arya dua
minggu sebelum usia dua tahun khusus untuk menyapih dia. Dengan cinta. Weaning
with love. Tapi planning itu gagal total.
Pasca operasi, tangan kiri saya harus di pen dan diberi gips
untuk mempertahankan bentuk tulang. Saat di rumah sakit, dua hari saya tidak
menyusui Arya. Pertama karena tangan saya yang baru operasi, dan kedua karena
Arya takut melihat saya diinfus. Saat itu, beberapa orang menyarankan saya
untuk sekalian menyapih Arya, tapi saya bilang tidak. Karena saya yakin saya
bisa tetap menyusui Arya bagaimanapun kondisinya. Karenanya, saat Arya dibawa
ke rumah sakit oleh ibu saya, saya selalu membujuk dia untuk mau menyusu. Dan
berhasil.
Dan Arya mengerti sekali kalau saya sedang sakit. Dia
pintar, tidak rewel, tidak bergelayutan, tidak terlalu minta digendong. Hanya
saja, kebiasaan menyusunya berubah. Kalau sebelum kecelakaan dia suka menyusu
dari kedua payudara, sekarang hanya suka dari payudara kanan saja. Kalau
menyusu dari payudara kiri, saya harus membujuk dia dulu. Saya paham mengapa
Arya tidak suka menyusu dari payudara kiri. Dia harus tengkurap di atas dada saya
dulu karena posisi saya menyusui haruslah dengan posisi tidur. Posisi yang
tidak nyaman bat dia. Karena alasan inilah yang membuat payudara kanan saya,
nipple-nya jadi terluka. Berdarah. Dan saya harus menangis kalau menyusui.
Beberapa kali saya mencoba menyusui Arya dari payudara kiri, dengan
mempertahankan posisi tangan, dengan posisi Arya tidur di kasur, ternyata malah
membuat tangan saya terasa ngilu. Dan lagi-lagi saya meringis kesakitan saat
menyusui Arya.
Dengan berat hati saya putuskan untuk menyapihnya.
Mungkin saya terlihat seenaknya sendiri. Tapi ini pun juga
demi kenyamanan kami berdua. Dengan vonis dokter bahwa tulang saya tidak bisa
kembali pada posisi sempurna seperti sebelum kecelakaan, itu menjadi warning
tersendiri bagi saya. Saya hanya ingin cepat sembuh, meskipun perkiraan dokter
sekitar enam bulan baru bisa mengangkat beban berat. Asumsi saya, jika saya
bersemangat mengikuti anjuran dokter, ada kemungkinan perkiraan enam bulan itu
bisa menjadi lebih cepat. Ya, meskipun kemungkinan itu kecil. Karena itulah
saya menyapih Arya. Supaya saya pun lebih cepat mengurus Arya kembali.
Menyapih Arya membuat saya sedih. Dua kali saya gagal
menyapih. Apalagi jika bukan karena tidak tega dan tidak rela. Saya tidak tega
menjauhkan proses menyusui dari Arya secara tiba-tiba. Saya tidak tega melihat
Arya merengek-rengek minta menyusu saat dia tidak nyaman dengan sesuatu. Saya
tidak rela juga melepas momen indah menyusui Arya. Ah, saya terlihat sangat
bimbang dan cengeng saat itu.
Karena saya menyapih Arya mendadak tanpa persiapan apa-apa,
ini membuat dia rewel selama tiga hari. Dan tentunya membuat emosi saya seperti
diaduk-aduk. Antara sedih, marah, sebal, tidak puas, dan emosi-emosi negatif
lainnya. Dan saat inilah, peran Papa dan ibu saya penting bagi kelabilan saya.
Mereka berdua membantu saya mengalihkan perhatian Arya saat dia ingin menyusu.
*Loph you, Pa, Bu*
Proses menyapih ini melelahkan. Bagi saya, bagi Arya, bagi
Papa, bagi ibu saya. Karenanya, kerja sama kami dibutuhkan. Pemberian sugesti
terus menerus pada Arya supaya Arya menjadi 'tidak mau' menyusu kami terapkan
tanpa henti. Kami selalu mencari cara mengalihkan perhatian Arya dari menyusu.
Selama empat hari, saya harus rela tidak tidur bersama Arya supaya sugesti kami
berhasil. Bahkan saat saya mulai lelah dan menyerah, saya hampir saja meminta
tolong ibu saya untuk membawa Arya ke dukun bayi untuk di'suwuk' supaya Arya
permanen lupa untuk menyusu. Alhamdulillah, itu tidak terjadi.
Sampai postingan ini saya buat, kami masih berusaha semampu
kami untuk menyapih Arya. Ada hasilnya, Arya mulai lupa menyusu. Hanya saat mau
tidur saja dia menempel-nempelkan pipinya di payudara saya. Mungkin sebagai
bentuk rasa kangennya dia menyusu ke saya *jadi pengen nangis**ambil roll
tisu*.
Bagi ibu-ibu yang sungguh-sungguh menikmati proses menyusui,
menyapih menjadi hal yang ingin dihindari. Tetapi, saya dan Papa menyadari satu
hal. Menyapih adalah sebuah langkah dari sekian langkah kami untuk membangun
kepercayaan diri dan kemandirian bagi Arya. Juga menjaga semangat kami untuk
terus mengasuh Arya meskipun salah satu zona nyaman kami harus kami lepas.
Demikian.