credit |
Memiliki pekerjaan sesuai dengan yang kita cita-citakan, adalah hal yang berada pada prioritas nomer satu, terutama saat kita sudah memutuskan untuk mengambil jurusan yang kita idam-idamkan saat kita sekolah. Ya, dan itupun terjadi pada saya juga lho. Siapa sih yang tidak suka hidup dengan pekerjaan yang baik, memiliki prestige, bergaji besar, tampil selalu cantik dan fresh? Ah, tampaknya otak saya saat itu memang sudah dipengaruhi dengan gambaran bahwa pekerjaan yang baik memiliki gambaran seperti itu.
Setelah saya lulus dari SMA dengan jurusan IPS, saya mulai gencar memilih jurusan-jurusan yang kiranya nanti kalau kerja memiliki gambaran seperti itu tadi. Pilihan saya ada dua, jurusan ekonomi atau psikologi. Bapak sebenarnya sudah memilihkan jurusan sosiologi, tapi siapa juga sih yang mau kerja di lapangan dengan penuh debu dan terkena sinar matahari, tidak menetap di kantor, atau bahkan melakukan penelitian-penelitian yang pengerjaaannya selalu outdoor. Hingga pada akhirnya, pilihan saya adalah psikologi. Dan dalam bayangan saya, saya nantinya akan menjadi seorang HRD di sebuah perusahaan atau menjadi psikolog yang mempunyai klinik konsultasi sendiri.
Awal kuliah, saya sangat antusias sekali dengan beberapa mata kuliah yang berhubungan dengan perusahaan atau yang berhubungan dengan klinis. Seiring waktu, nyatanya saya lebih memilih untuk menyukai mata kuliah yang berhubungan dengan perusahaan dan mulai mengabaikan mata kuliah yang berbau klinis. Mata kuliah kesukaan saya itu mulai saya tekuni sekali, seperti psikologi industri, perilaku organisasi, analisis jabatan, dll. Saya ingat, saya sangat rajin sekali kalau ada tugas pada mata kuliah itu.
FYI, psikologi sendiri memiliki empat lingkup antara lain piskologi industri atau perusahaan, piksologi pendidikan, psikologi klinis dan psikologi sosial. Dan dari keempatnya, saya mengabaikan psikologi pendidikan dan psikologi sosial. Saya sama sekali tidak memiliki gambaran kelak akan bekerja di lingkup pendidikan atau bekerja outdoor untuk psikologi sosial.
Beralih sebentar dari kuliah saya ya. Di keluarga besar saya dari garis keturunan ibu, hampir semuanya memiliki pekerjaan menjadi guru atau setidaknya memiliki skill untuk mengajar dan mendidik. Buyut laki-laki dan perempuan saya, memiliki pondok salaf di Malang. Nenek saya mengajar di sebuah TK, kakek dan paklek saya mengajar mengaji kitab-kitab salaf dan ilmu agama, sedangkan ibu saya, bulek yang tinggal di Malang dan bulek yang di Kediri mengajar mengaji al-Qur'an. Dua adik nenek yang juga tinggal di Malang, juga memiliki pondok pesantren dan mengajar mengaji kitab-kitab salaf. Artinya, mendidik sepertinya sudah mendarah daging dalam kehidupan kami. Sehingga tampaknya tidak heran kalau skill mengajar ini menurun pada saya. Saat kuliah, banyak teman yang terkadang meminta waktu khusus pada saya untuk menjelaskan kembali materi kuliah atau sekedar berdiskusi yang ujung-ujungnya pun ya akhirnya saya menjelaskan ulang materi kuliah. Saya sering mendapatkan tugas untuk mempresentasikan tugas kelompok dengan alasan saya menyampaikan materinya enak dan tidak membosankan.
Well, tampaknya dari sinilah akhirnya perjalanan hidup yang tidak sesuai dengan harapan saya pun dimulai. Beberapa kali ibu mengatakan kalau beliau ingin memiliki anak yang nantinya bekerja di lingkup pendidikan atau bahkan menjadi guru. Dengan alasan, akan lebih mudah bagi saya sebagai perempuan untuk membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Namun, juga seringkali saya sampaikan kalau saya memiliki gambaran tersendiri atas cita-cita pekerjaan saya.
Kembali pada bahwa mengajar atau mendidik sudah mendarah daging dikehidupan saya, ternyata memang slogan itu benar adanya. Saat semester lima, saya diharuskan untuk memilih mata kuliah pilihan pada program jurusan psikologi. Dalam hati saya kembali ragu, apa iya saya benar-benar ingin ambil mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan psikologi industri? Apa benar, skill saya ada dilingkup psikologi industri? Saat itu saya tatap kembali daftar mata kuliah masing-masing lingkup piskologi, keraguan itu besar sekali. Memang, penjurusan di strata 1 psikologi tidak akan mempengaruhi gelar yang nantinya saya terima, yaitu semua lingkup akan menerima gelar S. Psi. Tetapi jelas ini akan mempengaruhi pemahaman materi saat saya lulus nantinya.
Dan akhirnya, dengan bismillah, saya memilih psikologi pendidikan.
Beberapa teman dekat kaget dengan keputusan saya. Karena mereka tahu betul seberapa kuat keinginan saya pada psikologi industri. Namun, ada lega dalam lubuk hati saya. Terutama saat saya menyampaikan pilihan saya pada orangtua. Ibu bahkan sampai hampir menangis karena saya dianggap masih mau menghiraukan keinginan beliau.
Ya, dan akhirnya beginilah jalan hidup yang saya jalani atas pilihan saya. Seandainya, sejak awal saya memutuskan untuk mengambil psikologi di lingkup pendidikan, mungkin akan lebih mudah jika sedari awal saya mengambil kuliah pendidikan bimbingan dan konseling. Dan jika lulusan psikologi umum seperti saya ingin kerja di sektor pendidikan, maka saya harus kuliah lagi selama satu tahun untuk mengambil program Akta IV. Saya tidak menyesali keputusan saya, dan saya jalani keputusan saya itu dengan hati riang meskipun sedikit ngoyo menjalaninya. Saat di kuliah psikologi semester tujuh, saat waktu tersedot banyak dengan praktek di laboratorium dan laporan-laporannya, sore sampai malam harinya saya menjalani kuliah program Akta IV semester pertama. Saat kuliah psikologi memasuki semester delapan dan jadwal saya masih penuh dengan praktek di laboratorium dan bimbingan skripsi, saya masih menjalani kuliah program Akta IV yang juga penuh dengan praktek dan laporan-laporannya serta tugas akhir untuk mendapatkan sertifikat.
Dan saya bersyukur diberi kesehatan menjalaninya. Dan saya bersyukur saya bisa menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.
Dan di sinilah sekarang saya menjalani hasil keputusan saya dulu dan hasil kerja keras saya dulu. Menjadi seorang guru bimbingan dan konseling di sebuah SMP Negeri di Gresik. Meskipun masih GTT atau Guru Tidak Tetap, tapi saya senang menjalaninya. Tawa siswa, curhatan siswa, masalah-masalah siswa, tampaknya lebih berkesan bagi saya ketimbang memberikan tes psikologi saat ada karyawan baru masuk, atau mengawasi pekerjaan karyawan agar sesuai dengan job desk masing-masing, atau ikut serta mencari solusi saat perusahaan mengalami masalah.
Saya tidak pernah menyesali keputusan saya. Karena Tuhanlah yang ternyata lebih tahu apa yang terbaik dalam kehidupan saya. Dan dari sinilah saya tahu, bahwa kuasa Tuhan dalam membolak-balikkan hati manusia sangatlah besar.
Tulisan ini diikutsertakan dalam momtraveler’s first Giveaway “Blessing in Disguise”
Setelah saya lulus dari SMA dengan jurusan IPS, saya mulai gencar memilih jurusan-jurusan yang kiranya nanti kalau kerja memiliki gambaran seperti itu tadi. Pilihan saya ada dua, jurusan ekonomi atau psikologi. Bapak sebenarnya sudah memilihkan jurusan sosiologi, tapi siapa juga sih yang mau kerja di lapangan dengan penuh debu dan terkena sinar matahari, tidak menetap di kantor, atau bahkan melakukan penelitian-penelitian yang pengerjaaannya selalu outdoor. Hingga pada akhirnya, pilihan saya adalah psikologi. Dan dalam bayangan saya, saya nantinya akan menjadi seorang HRD di sebuah perusahaan atau menjadi psikolog yang mempunyai klinik konsultasi sendiri.
Awal kuliah, saya sangat antusias sekali dengan beberapa mata kuliah yang berhubungan dengan perusahaan atau yang berhubungan dengan klinis. Seiring waktu, nyatanya saya lebih memilih untuk menyukai mata kuliah yang berhubungan dengan perusahaan dan mulai mengabaikan mata kuliah yang berbau klinis. Mata kuliah kesukaan saya itu mulai saya tekuni sekali, seperti psikologi industri, perilaku organisasi, analisis jabatan, dll. Saya ingat, saya sangat rajin sekali kalau ada tugas pada mata kuliah itu.
FYI, psikologi sendiri memiliki empat lingkup antara lain piskologi industri atau perusahaan, piksologi pendidikan, psikologi klinis dan psikologi sosial. Dan dari keempatnya, saya mengabaikan psikologi pendidikan dan psikologi sosial. Saya sama sekali tidak memiliki gambaran kelak akan bekerja di lingkup pendidikan atau bekerja outdoor untuk psikologi sosial.
Beralih sebentar dari kuliah saya ya. Di keluarga besar saya dari garis keturunan ibu, hampir semuanya memiliki pekerjaan menjadi guru atau setidaknya memiliki skill untuk mengajar dan mendidik. Buyut laki-laki dan perempuan saya, memiliki pondok salaf di Malang. Nenek saya mengajar di sebuah TK, kakek dan paklek saya mengajar mengaji kitab-kitab salaf dan ilmu agama, sedangkan ibu saya, bulek yang tinggal di Malang dan bulek yang di Kediri mengajar mengaji al-Qur'an. Dua adik nenek yang juga tinggal di Malang, juga memiliki pondok pesantren dan mengajar mengaji kitab-kitab salaf. Artinya, mendidik sepertinya sudah mendarah daging dalam kehidupan kami. Sehingga tampaknya tidak heran kalau skill mengajar ini menurun pada saya. Saat kuliah, banyak teman yang terkadang meminta waktu khusus pada saya untuk menjelaskan kembali materi kuliah atau sekedar berdiskusi yang ujung-ujungnya pun ya akhirnya saya menjelaskan ulang materi kuliah. Saya sering mendapatkan tugas untuk mempresentasikan tugas kelompok dengan alasan saya menyampaikan materinya enak dan tidak membosankan.
Well, tampaknya dari sinilah akhirnya perjalanan hidup yang tidak sesuai dengan harapan saya pun dimulai. Beberapa kali ibu mengatakan kalau beliau ingin memiliki anak yang nantinya bekerja di lingkup pendidikan atau bahkan menjadi guru. Dengan alasan, akan lebih mudah bagi saya sebagai perempuan untuk membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Namun, juga seringkali saya sampaikan kalau saya memiliki gambaran tersendiri atas cita-cita pekerjaan saya.
Kembali pada bahwa mengajar atau mendidik sudah mendarah daging dikehidupan saya, ternyata memang slogan itu benar adanya. Saat semester lima, saya diharuskan untuk memilih mata kuliah pilihan pada program jurusan psikologi. Dalam hati saya kembali ragu, apa iya saya benar-benar ingin ambil mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan psikologi industri? Apa benar, skill saya ada dilingkup psikologi industri? Saat itu saya tatap kembali daftar mata kuliah masing-masing lingkup piskologi, keraguan itu besar sekali. Memang, penjurusan di strata 1 psikologi tidak akan mempengaruhi gelar yang nantinya saya terima, yaitu semua lingkup akan menerima gelar S. Psi. Tetapi jelas ini akan mempengaruhi pemahaman materi saat saya lulus nantinya.
Dan akhirnya, dengan bismillah, saya memilih psikologi pendidikan.
Beberapa teman dekat kaget dengan keputusan saya. Karena mereka tahu betul seberapa kuat keinginan saya pada psikologi industri. Namun, ada lega dalam lubuk hati saya. Terutama saat saya menyampaikan pilihan saya pada orangtua. Ibu bahkan sampai hampir menangis karena saya dianggap masih mau menghiraukan keinginan beliau.
Ya, dan akhirnya beginilah jalan hidup yang saya jalani atas pilihan saya. Seandainya, sejak awal saya memutuskan untuk mengambil psikologi di lingkup pendidikan, mungkin akan lebih mudah jika sedari awal saya mengambil kuliah pendidikan bimbingan dan konseling. Dan jika lulusan psikologi umum seperti saya ingin kerja di sektor pendidikan, maka saya harus kuliah lagi selama satu tahun untuk mengambil program Akta IV. Saya tidak menyesali keputusan saya, dan saya jalani keputusan saya itu dengan hati riang meskipun sedikit ngoyo menjalaninya. Saat di kuliah psikologi semester tujuh, saat waktu tersedot banyak dengan praktek di laboratorium dan laporan-laporannya, sore sampai malam harinya saya menjalani kuliah program Akta IV semester pertama. Saat kuliah psikologi memasuki semester delapan dan jadwal saya masih penuh dengan praktek di laboratorium dan bimbingan skripsi, saya masih menjalani kuliah program Akta IV yang juga penuh dengan praktek dan laporan-laporannya serta tugas akhir untuk mendapatkan sertifikat.
Dan saya bersyukur diberi kesehatan menjalaninya. Dan saya bersyukur saya bisa menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.
Dan di sinilah sekarang saya menjalani hasil keputusan saya dulu dan hasil kerja keras saya dulu. Menjadi seorang guru bimbingan dan konseling di sebuah SMP Negeri di Gresik. Meskipun masih GTT atau Guru Tidak Tetap, tapi saya senang menjalaninya. Tawa siswa, curhatan siswa, masalah-masalah siswa, tampaknya lebih berkesan bagi saya ketimbang memberikan tes psikologi saat ada karyawan baru masuk, atau mengawasi pekerjaan karyawan agar sesuai dengan job desk masing-masing, atau ikut serta mencari solusi saat perusahaan mengalami masalah.
Saya tidak pernah menyesali keputusan saya. Karena Tuhanlah yang ternyata lebih tahu apa yang terbaik dalam kehidupan saya. Dan dari sinilah saya tahu, bahwa kuasa Tuhan dalam membolak-balikkan hati manusia sangatlah besar.
Tulisan ini diikutsertakan dalam momtraveler’s first Giveaway “Blessing in Disguise”
Akhirnya keputusan terbaiklah yang diputuskan :)
BalasHapusNah, saya setuju dengan Miss Rochma, waktu kuliah dulu saya sempat setengah menjalani karena jurusan yang tidak sesuai denagn minat saya. tapi akhirnya malah jurusan tersebut yang membuka beberapa pintu kerjaan buat saya :)
BalasHapusKalau ada yang bilang "hidup itu pilihan, benar adanya ya, MBa. Semua kegiatan yang dijalani, selagi postif tidak ada yang sia2. . .
BalasHapusKonon katanya orang2 psikolog tuh cerdas2. Cieeee. ..
Moga menang. ..
saya jadi inget slogan bapak yg diturunkan sama saya, "I'm a part of God's plan"
BalasHapusrencana Tuhan selalu indah
kita saat ini adalah keputusan yang kita ambil 5-10 tahun yang lalu.
BalasHapusSemoga pekerjaan nya saat ini membawa berkah tersendiri ya mbak.
Aku juga salah jurusan nih. Ijazah hanya berguna untuk mendapatkan jodoh sekufu :D
BalasHapus@santi. iyaaaaaa.. akhirmya sekaranglag saya merasa dulu itu adalah keputusan terbaik :)
BalasHapus@ayu. kalau ada yang bilang kuliah itu cuma setengahnya aja kita jalani di kerjaan, saya setuju lho, yu. hihihii..
@idah. hmm.. pilihan dan harus mau menjalaninya. kan udah kadung dipilih. masa mau back ke masa lalu?
@mbak carra. dan aku pun sekarang enjoy jalaninya, mbak :)
BalasHapus@mmasrafa. amin.. amin.. :)
@mbak leyla hana. hihihi, akhirnya malah membawa berkah kan mbak? berkah berkeluarga :)
kalo g ambil jurusan psikologi,kita g bakalan ketemu,g bakalan jadi soulmate,g bakalan naik gunung banyak,seru2an di pasuruan smpe2 ngakak gara2 dipanggil jeng,sidowayah,naik gunung pijet2n di hampir puncak,malam2 mampir ke kosan sebelum berangkat kencan *wkwkwkwkw*,apalage ya???buwanyakkkkkkkkkkkkkkk bgt kenangnnya.....^^
BalasHapusohya,g bakal jadi guru beka kl ambil jurusan lain haghaghag
Kalau saya pengen banget masuk Psikologi namun background SMA saya IPA dan saya kuliah terjerumus di Teknik :D
BalasHapusHidup memang sebuah pilihan, ketika dihadapan kita ada jalan yang bercabang disitulah kita harus memilih. Mungkin saran dari mamah juga gak ada salahnya, barangkali itu sebagai acuan untuk kehidupan kita dimasa yang akan datang
BalasHapusnice blog :)
yup bener, Allah lebih tau mana yang lebih baik buat kita yaaa
BalasHapus@iis. peluk erat dirimu................ *lopyu is*
BalasHapus@titis.hihihi, teknik mah orangnya oke-oke. saya lemah tuh di perteknikan, itungan apalagi :D
@irfan. hm... itulah mungkin yang dinamakan restu orang tua manjur :)
@elsa. betul el.. :)
iya miss setuju, Tuhan sungguh sangat kuasa dalam membolak-balik hati manusia
BalasHapushai linda... toss dulu ya kalau gitu :)
BalasHapussaia gak ngerti deh masalah psikologi, yg terlintas di otak ya artinya cuma terapi2 jiwa dan mental gitu.. Ternyata ada bdg2 Yg ngikut lg ya dibelakangnya..tmbh mumet aja saia, apapun jurusan yg tlah dipilih, mbaknya hebat dah.
BalasHapussemoga selalu menikmati menjadi guru BK ya mba sesuai pilihan yg diambil saat kuliah. Beda banget dengan saya nih yg kuliah sesuai keinginan ortu, di awal kuliah sudah ketauan tidak suka dengan jurusan yg diambil. Akhirnya bekerja juga tidak sesuai dengan kuliah dulu hihihii... but it's okay, as long as my parents happy, I'm happy for them too
BalasHapusWah alhamdulillah mengambil jurusan Psikologi pendiidikan..
BalasHapusSepertinya doa ibu nya juga berperan..
ceritanya pengalamannya seru!
BalasHapus