credit |
Bagian Pertama | Bagian Kedua | Bagian Ketiga | Bagian Keempat |
Menceritakan kisahnya pada Alya -yang hanya sebagian kecil saja- sudah membuat kelegaan tersendiri bagi Ratih. Alya memang sudah waktunya mengetahui semua rahasia yang sengaja dia sembunyikan. Meskipun tanpa Ratih pinta, ternyata dimulainya lebih mudah. Tanpa perlu mendudukkan Alya dan memutar otak untuk mencari kalimat pertama yang pas sebagai pembuka.
Tapi tak sekarang semua harus diungkap, Nak.
Ratih memutuskan untuk kembali ke kamar, sebelumnya dia meminta Alya menyerahkan diari. Tak dipedulikan wajah Alya yang memucat, entah sebab apa. Yang diingin Ratih sekarang hanyalah sejenak merebahkan badannya yang tiba-tiba terasa lelah. Seolah sudah mengeluarkan sebagian amunisi rahasia pada musuh yang mengejarnya.
Dan Ratih sekarang hanya benar-benar merebahkan diri. Bola matanya menatap satu titik di atas plafon kamar. Melalui matanya, membuka kembali bilik rahasia yang kuncinya dia simpan dalam-dalam di brankas hatinya.
***
Ratih ingat, dia mengenal Dio saat dirinya sedang duduk sendiri di bangku panjang taman kota malam itu. Laki-laki bertubuh tinggi, tak terlalu gemuk dengan tulang pipi yang tampak sedikit menonjol. Yang saat itu sedang mengenakan kaos oblong biru tuayang dipadukan dengan celana denim berwarna biru -entahlah, sepertinya sudah tak lgi biru- dan sepatu kets yang warna hitamnya sudah pudar. Bagi sebagian orang, mungkin Dio tak menarik. Tapi Ratih tahu bahwa sejak pandangan pertama, dia sudah jatuh hati pada lesung pipi milik Dio! Alasan tidak relevan, mungkin begitu kata orang pintar.
"Mas nunggu orang?"Ratih memulai percakapan. Dio saat itu hanya menoleh, lalu tersenyum dan kembali menatap pandangan di depannya.
Ratih tersenyum, tipis saja. Tangannya mengeluarkan sebuah rokok merk lokal dan pematik dari dalam tas jinjingnya. Tak lama, asap putih sudah berlomba untuk keluar dari mulutnya. Disodorkannya rokok dan pematikkepada Dio namun Dio menolak dengan ramah.
"Ratih,"ucapnya kemudian untuk memperkenalkan diri. Laki-laki itu menoleh, menatap Ratih yang saat itu hanya menggunakan outfit sederhana. Kemeja lengan pendek warna baby pink dengan potongan yang pas di badannya yang langsing, yang dia padukan dengan celana jins biru tua.
"Dio,"
Dan perkenalan itu membuat hubungan mereka semakin dekat.
***
Tapi tak sekarang semua harus diungkap, Nak.
Ratih memutuskan untuk kembali ke kamar, sebelumnya dia meminta Alya menyerahkan diari. Tak dipedulikan wajah Alya yang memucat, entah sebab apa. Yang diingin Ratih sekarang hanyalah sejenak merebahkan badannya yang tiba-tiba terasa lelah. Seolah sudah mengeluarkan sebagian amunisi rahasia pada musuh yang mengejarnya.
Dan Ratih sekarang hanya benar-benar merebahkan diri. Bola matanya menatap satu titik di atas plafon kamar. Melalui matanya, membuka kembali bilik rahasia yang kuncinya dia simpan dalam-dalam di brankas hatinya.
***
Ratih ingat, dia mengenal Dio saat dirinya sedang duduk sendiri di bangku panjang taman kota malam itu. Laki-laki bertubuh tinggi, tak terlalu gemuk dengan tulang pipi yang tampak sedikit menonjol. Yang saat itu sedang mengenakan kaos oblong biru tuayang dipadukan dengan celana denim berwarna biru -entahlah, sepertinya sudah tak lgi biru- dan sepatu kets yang warna hitamnya sudah pudar. Bagi sebagian orang, mungkin Dio tak menarik. Tapi Ratih tahu bahwa sejak pandangan pertama, dia sudah jatuh hati pada lesung pipi milik Dio! Alasan tidak relevan, mungkin begitu kata orang pintar.
"Mas nunggu orang?"Ratih memulai percakapan. Dio saat itu hanya menoleh, lalu tersenyum dan kembali menatap pandangan di depannya.
Ratih tersenyum, tipis saja. Tangannya mengeluarkan sebuah rokok merk lokal dan pematik dari dalam tas jinjingnya. Tak lama, asap putih sudah berlomba untuk keluar dari mulutnya. Disodorkannya rokok dan pematikkepada Dio namun Dio menolak dengan ramah.
"Ratih,"ucapnya kemudian untuk memperkenalkan diri. Laki-laki itu menoleh, menatap Ratih yang saat itu hanya menggunakan outfit sederhana. Kemeja lengan pendek warna baby pink dengan potongan yang pas di badannya yang langsing, yang dia padukan dengan celana jins biru tua.
"Dio,"
Dan perkenalan itu membuat hubungan mereka semakin dekat.
***
Dio adalah pribadi yang menyenangkan. Dia bukan tipe orang yang mudah marah pada orang lain. Malah seringnya membantu orang lain, tak hanya teman, membuat dia memiliki banyak teman yang menghargainya.
Pun juga pada Ratih yang ternyata membutuhkan pertolongan di balik wajahnya yang tampak ceria. Yang tanpa Ratih sadari, Dio mampu sedikit demi sedikit memberinya solusi dan tak jarang Ratih mau melaksanakannya.Bagi Ratih, Dio adalah seseorang yang baru dikenalnya namun tak segan dia menceritakan masalah-masalah pribadinya.
Hubungan Ratih dan keluarganya hancur sudah, semenjak Ratih memasuki bangku SMA. Semenjak Ratih tanpa sengaja mengetahui bahwa papanya memiliki hubungan dengan wanita selain ibunya. Papanya tak mau mengakui kenyataan yang dilihat Ratih, awalnya. Namun melalui sikap papanya terhadap mamanya yang kian hari kian acuh, membuat Ratih menyadari bahwa keluarganya sebenarnya membutuhkan pertolongan 'orang baik'. Bagaimana pun, pendapat seorang anak sering kali menjadi pendapat yang dianggap tak perlu didengar. Papanya semakin sering pulang malam atau bahkan tak pulang berhari-hari dengan alasan dinas luar kota sedangkan ibunya semakin sibuk dengan arisan-arisan yang sebenarnya malah menghambur-hamburkan uang. Keduanya sibuk mencari kebahagiaan masing-masing. Melupakan Ratih dan adiknya, Puspita,yang memiliki umur selisih empat tahun dengannya.
Dan Ratih lah yang nyatanya semakin terpuruk. Tak seperti Puspita yang selalu menganggap bahwa masalah keluarganya ini pastilah memilki ujung baik. Pemikiran seperti itu membuat Puspita tetap mampu berkonsentrasi di sekolahnya. Alih-Alih memiliki pemikiran seperti Puspita, Ratih malah sering menunjukkan pertentangan pada keluarganya, tidak pernah terima dengan perselingkuhan papanya dan mamanya yang kian hari kian larut pula pulangnya. Sikap itu, ditunjukkan dengan jelas-jelas pada keluarganya. Membolos sekolah, memiliki teman yang tak baik, merokok, bahkan beberapa kali mencoba minuman keras.
Banyak usaha dilakukan keluarga Ratih untuk mengembalikan kondisi Ratih seperti dulu, namun gagal. Karena Ratih menutup diri. Selalu berprasangka bahwa usaha yang dilakukan orangtuanya hanyalah sementara saja. Hingga saat Ratih memutuskan untuk kuliah di Semarang, supaya jauh dengan keluarganya, dan bertemu Dio malam itu.
"Ceritakan padaku, jika itu membuatmu lega," ucap Dio suatu malam saat Ratih datang kekosnya dengan kondisi yang jauh dari yang dinamakan sopan.
Saat itu Ratih seolah tak mampu lagi berlari dan menyerah sudah pada pundak Dio untuk melegakan diri. Menangisi segala hal buruk dalam kehidupannya beberapa tahun ini.
Malam itu Dio tak menghakimi, tak memberinya solusi, hanya memberinya secangkir teh hangat dan mendengarkan isi hati Ratih. Hanya itu. Namun Ratih lega luar biasa.
"Datanglah padaku lagi jika itu membuatmu lega."
Itu adalah kalimat penutup dari Dio malam itu. Yang menjadi perekat hatinya yang sudah rapuh.
@mbak carra. ini ngga kubuat rumit kok. ini berdasarkan semua tulisan sebelumnya. :)))
BalasHapushihihihi, semangat mbak!!! karakternya yah... diperjelas lagi :)))
mari ngeteh......^^
BalasHapuslho??? kok ini kayak sambungan dari cerita ke 2 ya? bertolak belakang dengan cerita ke 4. ini sebenernya cerita ke berapa yak? kok kayak cerita ke 3 dan ke 4nya dilompat?
BalasHapusBig Question Mark... kok akhirnya gak cerfet yak?
Eh, saya baru baca lagi cerita ke empat. Baru ngerti. Maap mbak, baru nyambung...hehehehe.
BalasHapusCerfet itu cerita estafet ya? Hoo baru tau MFF ada program baru :D
BalasHapus