credit |
Kalian pernah membaca serial berjudul 'Wife' karya Heidy Will? Serial yang menceritakan tentang seorang wanita bernama Maria yang memergoki suaminya selingkuh dengan seorang coustemer service di sebuah bank. Serial yang ternyata digemari oleh para wanita lajang dan ibu-ibu muda.
Ah, ceritanya sudah banyak terjadi. Tentang perselingkuhan. Namun, Heidy menceritakannya dengan sangat mengalir sekali. Saat aku membacanya pertama kali, seolah akulah Maria, si wanita menyedihkan itu. Penggunaan diksi yang baik, teratur dan tertata rapi, membuat banyak orang tak akan menyesal mengeluarkan uang untuk serial yang sudah buku kedua itu.
Dan aku menggemari Heidy. Sangat! Tulisan-tulisan Heidy yang begitu mempesona, mampu membuatku mabuk dan cinta padanya. Aku selalu membayangkan dapat bertemu dengannya suatu hari nanti, memeluk dirinya, menulis bersamanya, atau bahkan kami minum teh hangat bersama di sore hari. Ups, aku terlalu berlebihan tampaknya. Tapi tidak, aku benar-benar jatuh cinta pada tulisan Heidy sehingga membuatku tergila-gila pada sosoknya.
Tapi jangan dikira aku penggemar yang brutal, yang selalu menteror kehidupan idolanya. Tidak. Jatuh cintaku, kutunjukkan dengan membuat karya semirip mungkin dengan karya milik Heidy. Bukan idenya, tapi penuturan dalam novel. Gaya menceritakan, kutiru dari Heidy. Tiga dari lima novelku, penulisannya mirip sekali dengan gaya penulisan Heidy. Meskipun penjualannya tak sebaik penjualan novel Heidy, tapi aku puas. Seolah Heidy memujiku, memelukku dan menuangkan wine di gelasku atas keberhasilan pencapaianku.
Gila! Memang! Beberapa teman penulis mengatakan kalau aku terlalu memuja Heidy. Tak baik untuk karir kepenulisanku. Namun aku tak peduli. Karena aku yakin, gaya penulisan Heidy tak akan tergerus oleh waktu yang nyatanya semakn tua.
Dan yang paling aku dambakan adalah bertatap muka langsung dengan Heidy. Mungkin itu adalah salah satu impian yang terlalu muluk untukku. Aku tinggal di Inggris, sedangkan Heidy di Amerika. Meskipun lima novel sudah kutelurkan, namun tetap saja tak akan cukup royaltinya untuk sekedar meminta tanda tangan Heidy langsung.
Hingga pada suatu sore aku menerima sebuah email dari Heidy yang meminta kesedianku menemui dia, di rumahnya. Oh, itu adalah sebuah rejeki dari Tuhan yang paling aku tunggu. Tanpa berfikir panjang lagi, kubalas email itu dengan jawaban setuju.
Dan, di sinilah aku sekarang. Di rumah Heidy. Mengetik draft novel serial Heidy. Oh tidak, tugasku bukan mengetik saja tapi juga membuat kelanjutan novel serial untuk Heidy. Sepertinya, Heidy tampak bodoh menyerahkan tugas ini padaku yang masih amatir. Tapi nyatanya demikian. Heidy memberi ide, aku yang membuat draft dan pengetikan hingga selesai. Silahkan katakan aku sebagai penulis bayangan pada novel Heidy.
Aku masih menyimpan memori saat dia mengutarakan maksudnya malam itu, dengan tutur kata yang tampak tak dibuat-buat. "Aku harap kesedianmu melanjutkan cerita untuk serialku."
Aku sangat terkejut. "Wife?" tanyaku dengan mata masih mendelik. Heidy mengangguk, membuatku menarik nafas. Antara takjub, bahagia dan ketidakpercayaan.
"Kenapa, Heidy?"
Heidy bangkit dari kursinya dan membetulkan posisi selendang lebar yang menutupi tubuhnya. Memandang langit malam yang meniupkan angin dingin. "Aku terkena diabetes. Dan, Paula membutuhkanku."
Kulirik Paula yang saat itu sedang memainkan balok-balok kayu di atas permadani. Down syndrome yang diidap Paula, membuatnya tak mampu melakukan apapun tanpa pengawasan intens. Aku tergugu, tak ada lagi alasan menolak tawaran Heidy.
"Aku beri kau ide, tulislah. Akhiri," ucap Heidy tanpa memandangku.
"Tapi, tapi, aku hanya penulis amatir. Tak pantas kau suruh aku membuat endingnya," ucapku terbata-bata. Ada kecamuk di hatiku. Antara bahagia dengan tawaran Heidy namun tak rela jika serial 'Wife' harus berakhir.
"Aku sudah pelajari profilmu, Kim. Dan hanya kamu yang cocok."
"Lalu para penggemarmu? Aku takut kalau mereka tahu tentang ini,"
Heidy tersenyum lalu kembali duduk. "Para penggemarku hanya ingin kelanjutan serial ini terbit cepat," ucap Heidy sambil menyesap wine. "aku tahu seberapa besar antusias mereka."
Aku diam sejenak, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul jika kuterima pekerjaan ini. Namun tetap saja, memikirkan banyak kemungkinan itu mengalahkan keinginanku menyabet kesempatan langka ini.
Heidy menyentuh punggung tanganku pelan, membawaku kembali pada kenyataan, terhempas dari lamunan. Kutatap wajahnya yang tirus -mungkin diabetes membuatnya semakin kurus- lalu aku mengangguk setuju.
Heidy tersenyum lalu merogoh sesuatu dari balik selendangnya. Kilatan cahaya membuatku terkejut. Pisau! Kutegakkan dudukku, kuberi jarak tambahan dengan Heidy saat dia menaruh pisau itu di atas meja.
"Buat Maria mati," Heidy menegaskan maksudnya. Aku begidik. "cerita ending yang menarik akan menyamarkan bahwa kelanjutan serial ini bukan aku yang buat."
Ah, ceritanya sudah banyak terjadi. Tentang perselingkuhan. Namun, Heidy menceritakannya dengan sangat mengalir sekali. Saat aku membacanya pertama kali, seolah akulah Maria, si wanita menyedihkan itu. Penggunaan diksi yang baik, teratur dan tertata rapi, membuat banyak orang tak akan menyesal mengeluarkan uang untuk serial yang sudah buku kedua itu.
Dan aku menggemari Heidy. Sangat! Tulisan-tulisan Heidy yang begitu mempesona, mampu membuatku mabuk dan cinta padanya. Aku selalu membayangkan dapat bertemu dengannya suatu hari nanti, memeluk dirinya, menulis bersamanya, atau bahkan kami minum teh hangat bersama di sore hari. Ups, aku terlalu berlebihan tampaknya. Tapi tidak, aku benar-benar jatuh cinta pada tulisan Heidy sehingga membuatku tergila-gila pada sosoknya.
Tapi jangan dikira aku penggemar yang brutal, yang selalu menteror kehidupan idolanya. Tidak. Jatuh cintaku, kutunjukkan dengan membuat karya semirip mungkin dengan karya milik Heidy. Bukan idenya, tapi penuturan dalam novel. Gaya menceritakan, kutiru dari Heidy. Tiga dari lima novelku, penulisannya mirip sekali dengan gaya penulisan Heidy. Meskipun penjualannya tak sebaik penjualan novel Heidy, tapi aku puas. Seolah Heidy memujiku, memelukku dan menuangkan wine di gelasku atas keberhasilan pencapaianku.
Gila! Memang! Beberapa teman penulis mengatakan kalau aku terlalu memuja Heidy. Tak baik untuk karir kepenulisanku. Namun aku tak peduli. Karena aku yakin, gaya penulisan Heidy tak akan tergerus oleh waktu yang nyatanya semakn tua.
Dan yang paling aku dambakan adalah bertatap muka langsung dengan Heidy. Mungkin itu adalah salah satu impian yang terlalu muluk untukku. Aku tinggal di Inggris, sedangkan Heidy di Amerika. Meskipun lima novel sudah kutelurkan, namun tetap saja tak akan cukup royaltinya untuk sekedar meminta tanda tangan Heidy langsung.
Hingga pada suatu sore aku menerima sebuah email dari Heidy yang meminta kesedianku menemui dia, di rumahnya. Oh, itu adalah sebuah rejeki dari Tuhan yang paling aku tunggu. Tanpa berfikir panjang lagi, kubalas email itu dengan jawaban setuju.
Dan, di sinilah aku sekarang. Di rumah Heidy. Mengetik draft novel serial Heidy. Oh tidak, tugasku bukan mengetik saja tapi juga membuat kelanjutan novel serial untuk Heidy. Sepertinya, Heidy tampak bodoh menyerahkan tugas ini padaku yang masih amatir. Tapi nyatanya demikian. Heidy memberi ide, aku yang membuat draft dan pengetikan hingga selesai. Silahkan katakan aku sebagai penulis bayangan pada novel Heidy.
Aku masih menyimpan memori saat dia mengutarakan maksudnya malam itu, dengan tutur kata yang tampak tak dibuat-buat. "Aku harap kesedianmu melanjutkan cerita untuk serialku."
Aku sangat terkejut. "Wife?" tanyaku dengan mata masih mendelik. Heidy mengangguk, membuatku menarik nafas. Antara takjub, bahagia dan ketidakpercayaan.
"Kenapa, Heidy?"
Heidy bangkit dari kursinya dan membetulkan posisi selendang lebar yang menutupi tubuhnya. Memandang langit malam yang meniupkan angin dingin. "Aku terkena diabetes. Dan, Paula membutuhkanku."
Kulirik Paula yang saat itu sedang memainkan balok-balok kayu di atas permadani. Down syndrome yang diidap Paula, membuatnya tak mampu melakukan apapun tanpa pengawasan intens. Aku tergugu, tak ada lagi alasan menolak tawaran Heidy.
"Aku beri kau ide, tulislah. Akhiri," ucap Heidy tanpa memandangku.
"Tapi, tapi, aku hanya penulis amatir. Tak pantas kau suruh aku membuat endingnya," ucapku terbata-bata. Ada kecamuk di hatiku. Antara bahagia dengan tawaran Heidy namun tak rela jika serial 'Wife' harus berakhir.
"Aku sudah pelajari profilmu, Kim. Dan hanya kamu yang cocok."
"Lalu para penggemarmu? Aku takut kalau mereka tahu tentang ini,"
Heidy tersenyum lalu kembali duduk. "Para penggemarku hanya ingin kelanjutan serial ini terbit cepat," ucap Heidy sambil menyesap wine. "aku tahu seberapa besar antusias mereka."
Aku diam sejenak, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul jika kuterima pekerjaan ini. Namun tetap saja, memikirkan banyak kemungkinan itu mengalahkan keinginanku menyabet kesempatan langka ini.
Heidy menyentuh punggung tanganku pelan, membawaku kembali pada kenyataan, terhempas dari lamunan. Kutatap wajahnya yang tirus -mungkin diabetes membuatnya semakin kurus- lalu aku mengangguk setuju.
Heidy tersenyum lalu merogoh sesuatu dari balik selendangnya. Kilatan cahaya membuatku terkejut. Pisau! Kutegakkan dudukku, kuberi jarak tambahan dengan Heidy saat dia menaruh pisau itu di atas meja.
"Buat Maria mati," Heidy menegaskan maksudnya. Aku begidik. "cerita ending yang menarik akan menyamarkan bahwa kelanjutan serial ini bukan aku yang buat."
***
Cerpen ini diikutkan pada kontes menulis Ngasih Hadiah Harry Irfan. Dan berdasar fiksi mini Harry Irfan : “KAU YAKIN INI ENDING-NYA?”. Ia mengangguk sembari memberiku sebuah pena, dan sebilah pisau.
Hmmmmmm tuchy mak
BalasHapusendingnya tiba-tiba ngagetin...“KAU YAKIN INI ENDING-NYA?”
BalasHapus