Foto milik Mbak Orin :) |
"Ayah, ini korannya."Atik meletakkan koran kemarin di atas meja. Suseno yang sedang menikmati kopi dalam mug besar, mengambil koran dan membawanya ke depan rumah. Tanpa baju yang melekat di badannya yang sangat kurus, Suseno memilih duduk di depan pintu. Sambil menikmati angin siang itu, mungkin begitu maksudnya.
Waktu berlalu sudah lima belas menit saat dia membuka halaman paling akhir. Matanya tertuju pada sebuah berita dari ibu kota. Tentang seorang laki-laki muda yang mati ditusuk penjambret yang melarikan beberapa juta uang yang akan dia setorkan di bank. Berdasarkan cerita dari teman korban, uang itu akan dia kirim separuhnya untuk ayahnya di kampung.
Mata Suseno membasah. Berita ini membuatnya ingatannya kembali bertahun-tahun silam saat Joko, anak pertamanya, masih bersamanya sebelum pindah ke ibu kota. Menepiskan masa depan yang telah Joko susun matang-matang hanya untuk riwa-riwi mengantarnya berobat ke rumah sakit.
Bahkan Suseno masih ingat, pagi menjelang siang kala itu, saat dua guru Joko mengunjungi rumah mereka. Dia tersadar bahwa Joko memiliki mental sekuat baja, mental yang entah dari siapa dia dapatkan. Saat dua guru Joko membujuknya agar kembali aktif ke sekolah.
"Sayang Nak, kalau kamu tak melanjutkan sekolahmu. Setelah melewati UAS dan kelas tiga, kamu bisa lebih meluangkan waktu dengan ayahmu," ucap guru cantik berjilbab itu pada Joko.
Apa jawaban Joko?
"Tapi aku tak tahu sampai kapan Ayah hidup. Dan aku tidak mau merasa bersalah karena tak merawatnya."
Kami tersentak dengan jawabannya. Jawaban itu adalah pilihannya. Dia tak ingin seperti ibunya, yang meninggalkan suaminya karena sakit-sakitan.
Joko, aku merindukanmu. Begitu pula Atik. Ayah sudah mulai sembuh, Nak. Berkatmu.
"Ayah, tasnya tak perlu Ayah bawa kemana-mana."
Lamunan Suseno menguap sudah saat Atik menghampirinya. Suseno melirik tas hitam yang sejak tadi pagi dibawanya kemana-mana.
"Nanti sore kita berangkat diantar mas Bayu sampai terminal,” ucap Atik dengan menyebut salah satu tetangganya yang memiliki mobil pick up. "semoga kita tak menganggu kesibukan mas Joko di sana."
Suseno berdiri, lalu memberikan koran yang usai dia baca pada Atik. Matanya masih basah, kali ini tak bisa dia tahan laju air matanya.
"Ayah, kenapa?" Atik menuntun Suseno menuju kursi. Menyandarkan tubuh Ayahnya yang ringkih pada sandaran kursi.
"Lihat koran halaman terakhir. Ada foto abangmu di sana."
Waktu berlalu sudah lima belas menit saat dia membuka halaman paling akhir. Matanya tertuju pada sebuah berita dari ibu kota. Tentang seorang laki-laki muda yang mati ditusuk penjambret yang melarikan beberapa juta uang yang akan dia setorkan di bank. Berdasarkan cerita dari teman korban, uang itu akan dia kirim separuhnya untuk ayahnya di kampung.
Mata Suseno membasah. Berita ini membuatnya ingatannya kembali bertahun-tahun silam saat Joko, anak pertamanya, masih bersamanya sebelum pindah ke ibu kota. Menepiskan masa depan yang telah Joko susun matang-matang hanya untuk riwa-riwi mengantarnya berobat ke rumah sakit.
Bahkan Suseno masih ingat, pagi menjelang siang kala itu, saat dua guru Joko mengunjungi rumah mereka. Dia tersadar bahwa Joko memiliki mental sekuat baja, mental yang entah dari siapa dia dapatkan. Saat dua guru Joko membujuknya agar kembali aktif ke sekolah.
"Sayang Nak, kalau kamu tak melanjutkan sekolahmu. Setelah melewati UAS dan kelas tiga, kamu bisa lebih meluangkan waktu dengan ayahmu," ucap guru cantik berjilbab itu pada Joko.
Apa jawaban Joko?
"Tapi aku tak tahu sampai kapan Ayah hidup. Dan aku tidak mau merasa bersalah karena tak merawatnya."
Kami tersentak dengan jawabannya. Jawaban itu adalah pilihannya. Dia tak ingin seperti ibunya, yang meninggalkan suaminya karena sakit-sakitan.
Joko, aku merindukanmu. Begitu pula Atik. Ayah sudah mulai sembuh, Nak. Berkatmu.
"Ayah, tasnya tak perlu Ayah bawa kemana-mana."
Lamunan Suseno menguap sudah saat Atik menghampirinya. Suseno melirik tas hitam yang sejak tadi pagi dibawanya kemana-mana.
"Nanti sore kita berangkat diantar mas Bayu sampai terminal,” ucap Atik dengan menyebut salah satu tetangganya yang memiliki mobil pick up. "semoga kita tak menganggu kesibukan mas Joko di sana."
Suseno berdiri, lalu memberikan koran yang usai dia baca pada Atik. Matanya masih basah, kali ini tak bisa dia tahan laju air matanya.
"Ayah, kenapa?" Atik menuntun Suseno menuju kursi. Menyandarkan tubuh Ayahnya yang ringkih pada sandaran kursi.
"Lihat koran halaman terakhir. Ada foto abangmu di sana."
Hikks sedih... Joko yang di banggakan bapaknya telah tiada yah mak :) Joko memang anak berani dan bermental baja. Sip dehh ceritanya.
BalasHapusKeren Miss ceritanya, suer :D
BalasHapusTerima kasih teman-teman dah bersedia baca :))
BalasHapusAaahhh... endingnya nyesek..
BalasHapusHiks...kesian Pak Suseno :((
BalasHapusMulai curiga kalo FF itu selalu sad ending. Perasaan gk pernah deh baca FF yang hepi ending. Hiks hiks.. :'(
BalasHapusWah.. Pak Suseno batal berangkat...
BalasHapusnama kan bisa aja sama, mak :p mungkin lebih pas lagi kalo bapaknya bilang, "Buka halaman terakhir. Ada foto abangmu di sana."
BalasHapusTerima kasih dah baca semuanyaaaa...
BalasHapus@mbak istiadzah. Hmm... memang lebih masuk akal seh yang dikasih saran mbak. Sip, ntar aku ganti endingnya. Makasi :)
ini bisa lebih ngantem kalau paragarafnya sedikit diobrak-abrik :D
BalasHapusGood story, tapi endingnya ketebak. Hehehee...
BalasHapusJika berkenan kunjungi blog saya www.streetpoems.blogspot.com