credit by google |
Ruangan ini terasa panas, ah, mungkin lebih tepat terasa sesak. Berkumpul kami para kaki tangan pak Suroto, yang saling berhimpitan duduknya karena kursinya sedikit. Dari kedelapan orang yang hadir, hanya aku dan bu Dini yang merupakan penanggung jawab laboratorium. Aku memegang laboratorium komputer, dan bu Dini sebagai laboran IPA.
Beberapa menit kemudian, pak Suroto meletakkan beberapa map di atas meja. "Itu adalah apa-apa yang harus kita rinci jumlahnya".
Kami diam, tak berani berucap atau mengambil map-map itu untuk melihat isinya. Takut pada pak Suroto, takut ditegur lancang jika tanpa ijinnya srudak-sruduk mengangkat map itu.
"Silahkan dibagikan mapnya sesuai masing-masing tugas. Kita harus rinci sekali untuk tugas kali ini. Kepala sekolah yang baru tentunya tidak mau ada yang tak terhitung dari inventaris yang kita miliki sekarang".
Kami manggut-manggut, mencoba mengerti. Aku tersenyum saja, penghitungan inventaris di laboratorium komputer sudah diselesaikan oleh bu Hana beberapa hari yang lalu. Aku tinggal menyalin saja isinya.
Namun,
"Pak Didik..." panggil pak Suroto saat akan mengakhiri pertemuan. Aku menoleh, menatapnya.
"Data juga komputer dan perlengkapannya yang sudah tak kita pakai karena ada sumbangan dari Diknas. Sekalian yang sudah rusak. Itu juga masih termasuk inventaris kita".
Aku terkesiap. Tubuhku mendadak gemetar, ototku tak mampu menjawab apapun.
"Disimpan di gudang, kan?"
"I..i..iya, Pak. Di gudang dekat kamar mandi siswa putri," jawabku gemetar. Bu Dini melihat kegugupanku. Bola matanya sedikit mendelik, mengisyaratkan aku harus menenangkan diri.
"Saya tunggu laporannya tiga hari lagi. Terima kasih," pinta pak Suroto disambung dengan menutup pertemuan.
Tapi gemetar di tubuhku tak bisa kuakhiri.
**
"Kalau orang lain tahu?" tanyaku pada bu Dini. Gudang ini sepi, hanya ada kami berdua. Memandang ruangan yang sudah tak banyak barangnya.
"Ah, yang tahu hanya Paimin. Kita bisa belikan dia rokok untuk tutup mulut," ucap bu Dini sambil menghampiriku. Kemudian duduk di sebelahku, di atas meja belajar siswa yang sudah mulai reyot. Tangannya menggelayut manja di pinggangku, membuat tubuhku berdesir. Semakin berdesir, pikiranku semakin rileks.
"Sudahlah Sayang, jangan terlalu dipikirkan," bisik bu Dini sambil mencium leherku. Aku memejamkan mata, mendesah.
Tapi tak bisa kupungkiri, aku masih tetap khawatir. "Tapi, komputer-komputer itu sudah kita jual, Sayang."
Bu Dini berhenti menciumi leherku. "Lalu?" tanyanya.
"Bagaimana jika Suroto menanyakan wujudnya? Aku menunjukkan komputer yang mana coba?"
Bu Dini terkekeh pelan tapi tak lama. Mungkin karena melihat wajahku yang terlampau serius. Kemudian dia meletakkan tangannya di wajahku.
"Sayang, jangan lupa, Suroto satu bulan lagi sudah pensiun. Banyak yang dia urus, tak akan sempat dia memintamu menunjukkan komputer-komputer itu."
Aku diam, mencoba membenarkan ucapan bu Dini. Tapi kemudian muncul pertanyaan baru di otakku.
"Oke, Suroto beres. Kepala sekolah yang baru?" tanyaku sambil menatap wajah bu Dini yang masih cantik meskipun usianya lebih tua enam tahun daripadaku.
"Ah, itu bisa kita urus nanti."jawabnya sambil memagut bibirku.
Beberapa menit kemudian, pak Suroto meletakkan beberapa map di atas meja. "Itu adalah apa-apa yang harus kita rinci jumlahnya".
Kami diam, tak berani berucap atau mengambil map-map itu untuk melihat isinya. Takut pada pak Suroto, takut ditegur lancang jika tanpa ijinnya srudak-sruduk mengangkat map itu.
"Silahkan dibagikan mapnya sesuai masing-masing tugas. Kita harus rinci sekali untuk tugas kali ini. Kepala sekolah yang baru tentunya tidak mau ada yang tak terhitung dari inventaris yang kita miliki sekarang".
Kami manggut-manggut, mencoba mengerti. Aku tersenyum saja, penghitungan inventaris di laboratorium komputer sudah diselesaikan oleh bu Hana beberapa hari yang lalu. Aku tinggal menyalin saja isinya.
Namun,
"Pak Didik..." panggil pak Suroto saat akan mengakhiri pertemuan. Aku menoleh, menatapnya.
"Data juga komputer dan perlengkapannya yang sudah tak kita pakai karena ada sumbangan dari Diknas. Sekalian yang sudah rusak. Itu juga masih termasuk inventaris kita".
Aku terkesiap. Tubuhku mendadak gemetar, ototku tak mampu menjawab apapun.
"Disimpan di gudang, kan?"
"I..i..iya, Pak. Di gudang dekat kamar mandi siswa putri," jawabku gemetar. Bu Dini melihat kegugupanku. Bola matanya sedikit mendelik, mengisyaratkan aku harus menenangkan diri.
"Saya tunggu laporannya tiga hari lagi. Terima kasih," pinta pak Suroto disambung dengan menutup pertemuan.
Tapi gemetar di tubuhku tak bisa kuakhiri.
**
"Kalau orang lain tahu?" tanyaku pada bu Dini. Gudang ini sepi, hanya ada kami berdua. Memandang ruangan yang sudah tak banyak barangnya.
"Ah, yang tahu hanya Paimin. Kita bisa belikan dia rokok untuk tutup mulut," ucap bu Dini sambil menghampiriku. Kemudian duduk di sebelahku, di atas meja belajar siswa yang sudah mulai reyot. Tangannya menggelayut manja di pinggangku, membuat tubuhku berdesir. Semakin berdesir, pikiranku semakin rileks.
"Sudahlah Sayang, jangan terlalu dipikirkan," bisik bu Dini sambil mencium leherku. Aku memejamkan mata, mendesah.
Tapi tak bisa kupungkiri, aku masih tetap khawatir. "Tapi, komputer-komputer itu sudah kita jual, Sayang."
Bu Dini berhenti menciumi leherku. "Lalu?" tanyanya.
"Bagaimana jika Suroto menanyakan wujudnya? Aku menunjukkan komputer yang mana coba?"
Bu Dini terkekeh pelan tapi tak lama. Mungkin karena melihat wajahku yang terlampau serius. Kemudian dia meletakkan tangannya di wajahku.
"Sayang, jangan lupa, Suroto satu bulan lagi sudah pensiun. Banyak yang dia urus, tak akan sempat dia memintamu menunjukkan komputer-komputer itu."
Aku diam, mencoba membenarkan ucapan bu Dini. Tapi kemudian muncul pertanyaan baru di otakku.
"Oke, Suroto beres. Kepala sekolah yang baru?" tanyaku sambil menatap wajah bu Dini yang masih cantik meskipun usianya lebih tua enam tahun daripadaku.
"Ah, itu bisa kita urus nanti."jawabnya sambil memagut bibirku.
Ih ibu Dini agresif sekali. Nice story, Mbak :)
BalasHapusAiiihhh, sepagi ini memagut bibir *_*
BalasHapusEyampuuun, pak Didik, bu Dini, itu coba ya jangan pacaran di sekolah!
BalasHapushohoho...bagus Ri ;)
wkwkwkw lucu ni tulisannya
BalasHapuswah. para anggota anak warung blogger semua ya? salam kenal ya ^_^
BalasHapusknp saya ikut deg2an yah :p
BalasHapusMasalah inventaris sudah dimanipulasiii, Ibu. Hihihi
BalasHapusMasa cium2 gituuu ih. Ada anak kecilll. .. :D
Waah ... deg2an seperti mbak Nath
BalasHapusGak ada murid yang intip kan? ^^
Wah! Gue sebagai murid mending minggir, ah! Gak mau tau urusan para guru mesum! Bhahaha
BalasHapuswaduhhh,,heheheh
BalasHapussalam kenal :D
Nah, ya, Pak Didik sama Bu Dini nakal hihihi
BalasHapus