Saya tak ingin menceritakan tentang
kecelakaan remaja usia tigabelas tahun yang 'mungkin' penyebabnya adalah
perceraian keluarga. Biarlah itu menjadi buah bibir khalayak ramai namun tetap
memiliki nasehat di dalamnya, terutama untuk orangtua.
Saya kali ini hanya ingin menceritakan
bagaimana sebuah masalah orangtua malah menjadi bumerang bagi anaknya.
Sebut saja siswa saya ini si A. Sejak bulan
Juli lalu sampai bulan September, dia tidak masuk tanpa surat izin sebanyak 11
hari. Kami sebagai pihak sekolah, sejak alpanya masih sedikit, sudah sering
melakukan panggilan orangtua baik melalui telepon, disampaikan langsung oleh
siswanya atau juga melalui surat panggilan orangtua. Tapi hasilnya selau nihil.
Tak jarang, wali kelas juga saya melakukan wawancara dan tindakan-tindakan
pencegahan supaya si A ini bersedia selalu masuk kelas.
Hingga pada akhirnya si A kembali tidak
hadir di sekolah. Saya dan wali kelas, atas izin kepala sekolah, akhirnya
melakukan home visit ke rumah si A untuk mencari orangtuanya dan berdiskusi
mencari jalan keluar yang efektif untuk si A. Dua kali kami home visit, tapi
hasilnya nihil. Orangtuanya tak ada di rumah, pun juga si A. Hanya tetangga
yang bersedia dititipi pesan bahwa orangtua si A diharapkan hadir ke sekolah.
Alhamdulillah, esok harinya, si ibu hadir
di sekolah.
Dan kami berdiskusi tentang upaya yang akan
kami lakukan supaya si A kembali aktif sekolah, mengingat dia sudah kelas 9 dan
kurang dari delapan bulan lagi sudah menjalani UAN.
Dan akar permasalahannya adalah karena si
ayah yang memutuskan menikah lagi dan meninggalkan si ibu beserta si A dan
kakaknya tanpa meninggalkan sedikitpun biaya hidup. Dampaknya, si ibu memilih
untuk bekerja di sebuah catering yang menerima pesanan dari pabrik-pabrik.
Hasilnya tak banyak tapi cukup untuk sekedar makan. Si Kakak berhenti dari SMK
dikarenakan tak ada biaya dan memilih untuk bekerja.
Yang menarik adalah, si A menyampaikan
bahwa dia merasa kurangnya kasih sayang dari ibunya karena ibunya selalu
bekerja. Dan pelampiasannya adalah membolos sekolah untuk bermain game online
dan play station di rental dekat rumahnya, sebagai bentuk wujud 'menyenangkan
diri sendiri'.
**
Teman,
Saya sempat menahan marah karena si A
sepertinya tidak merasa bersalah. Saya dan wali kelas dibuat kucing-kucingan
dengan masalah ini. Namun saat si A-dalam sesi konseling- menyampaikan bahwa
dia merasa bahwa si ibu tak lagi memberi banyak perhatian padanya dikarenakan
sibuk mencari biaya hidup, saya jadi merasa kasihan.
Sungguh miris saat saya menyadari bahwa
salah satu siswa saya -dan mungkin masih banyak yang lain, namun tak terungkap-
menjadi dampak dari keegoisan orangtuanya sendiri. Bahwa si anak benar-benar
menyadari bahwa akar masalahnya adalah itu, namun tak memiliki kuasa untuk
merubah keputusan orangtua karena dianggap belum dewasa.
Sekiranya ini silahkan menjadi pelajaran
untuk kita. Bahwa setiap orangtua memang memiliki keinginan untuk dirinya
sendiri. Namun jangan lupakan bahwa pada akhirnya keinginan orangtua ini
nantinya akan disesuaikan dengan kondisi keluarga dan kesiapan anak-anaknya.
Demikian.
Salam penuh kasih,
Miss Rochma.
sangat prihatin ya mba, smg orang tua si A mendapatkan solusi dan menyadari betapa anak-anak mereka tdk boleh menjadi korban dari sebuah perceraian. Sudah pasti akan jd korban tp minimal diminimalisir sesedikit mungkin :)
BalasHapussedih ya zuh..... :(
BalasHapusUntuk itu sebagai orang tua yang memang memperhatikan buah hatinya, harus benar-benar bisa menjaga emosi dan stabilitas si anak.
BalasHapusBirpun saya belum menjadi orang tua, saya juga pernah merasakan bagaimana menjadi anak.
Semoga mereka semua sadar akan prilakunya.
Demi perkembangan anak Indonesia.
@mbak irma. Prihatin sekali mbak. Kami sebagai pihak guru tidak bisa memberi solusi lebih jauh, karena mmg ini murni karena masalah keluarga yang rumit. Hanya bisa memberi saran supaya lbh memperhatikan anak-anaknya.
BalasHapus@iis. Hu'um is, kasihan bgt. Sedih dgr cerita seperti itu.
@mas imam. Setuju mas. Menjaga emosi anaknya. Misalnya pun perceraiam itu terjadi, hendaknya bisa meminimalkan dampak negatif pada anak.
Prihatin sekali ya mbak, kasihan padahal si ibu :(
BalasHapusPolah orang tua efeknya anak yang kena getah ya mbak..
BalasHapusTapi eh dulu keluarga saya baik-baik saja, tapi kok saya bolosan ya hehe.. bahkan ampe 40 hari dalam satu catur wulan. Ini efek apa kira-kira mbak? hahaha
@mbak hana. Iyaaaa... kasihan si ibu. Sekarang apa2 ya si ibu jadi tanggungan. Badannya kian hari kian kurus. Beda dengan saat dua thn lalu, saat pertama kali kenal dg si ibu.
BalasHapus@om lozz akbar. Waduh om, kalau bkn gegara pola asuh yg salah, trus gegara apa lho om? Kok jadi bolos byk gitu? Balik tanya neh :))
Kalo sy, justru merasa miris dg kesedihan si ibu. Sudah ditinggalkan oleh suami yg menikah lg, lalu berusaha banting tulang agar si anak bisa mkn dan sekolah, eh si A, sang anak malah membuat ulah. Untung si kakak berpikir lbh dewasa, mau ringankan beban ibunya yg hatinya hancur luluh. Mungkin konseling yg tepat bagi si A adalah membuka matanya, bhw ibunya, bkn tak syg lagi pdnya, tp justru saking sygnya pd anak2, dia kini rela banting tulang kerja d tpt org sp hrs kehilangan wkt dan kebersamaannya dg sang anak. Si A hrs dibuka kesadarannya, bhw bukanlah ibunya yg memilih spt itu, tp keadaan yg memaksanya beralih peran. Apa ga syg dia pd ibunya?
BalasHapusPelan2, si A hrs menyadari kekeliruannya, derita yg dirasakan oleh sang ibu, tiada tara, jgnlah dia tambah spt itu. Sono kalo mau demo, ke ayahnya, yg seenaknya saja kawin lagi. Hihi, kok sy mlh jd geram sm anak ini ya, Mak? Slh fokus deh. Tp bener lho, ga ada org yg berharap bercerai, kecuali sdh tak ada jln lain. Resikonya? Ya diminimalisir sedapat mungkin. Banyak jg kok anak2 broken home, yg bs hidup layak dan bahagia serta sukses dlm hidupnya.
Jadi pengen ngejewer si A deh ih, kadian kan ibunya , sdh jatuh malah ditimpakan tangga pula.
Saya yakin, pihak sekolah n miss Rochma akan dpt membuka mata dan mengembalikan si A ke sekolah nantinya. Smg ya. Mak.
Duh serba salah ya. Disisi lain si anak masih perlu perhatian, tp dipaksa untuk mengerti kondisi ibunya. Banyak anak2 lain yg spt itu. Sayang tidak punya guru konseling spt miss ROchma. Btw, aku sekali blognya. Rapi.
BalasHapusGuru2nya perhatian ya Miss..
BalasHapusKalo adekku dulu, udah dibiarin aja nggak masuk2 sekolah. Tapi Ortunya baik-baik saja, hanya yah itu pada sibuk nyari duit...
prihatin lihatnya. Sy kasihan sm ibunya. Semoga lambat laun anaknya mau mengerti
BalasHapushmm.. kasihan banget anak-anak seperti A. Mereka memang perlu perhatian lebih. Dulu teman saya juga pernah mengalami dampak buruk perpisahan dalam keluarga. Sampai-sampai jadi bandel banget, padahal dia cewek :(
BalasHapus@mbak al. makasih sekali mbak dah memberikan saran :)
BalasHapusbeberapa saran dari mbak Al sudah kulakukan. namun ada beberapa yang bisa jadi masukan. makasi, mbak Al :)) *big hugh*
@mbak Lusiana. Mungkin bagi anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang baik, kondisi seperti ini dia bisa menghadapi dan mengerti. Tapi si A ini, sayangnya belum memilikinya, mbak :(
@Mbak Rini. Hm, semoga banyak guru yang semakin sadar perlunya penanaman kepercayaan pada anak ya, mbak :)
BalasHapus@Mama Chi. Iya, kasihan ibunya. Semoga si A bisa semakin mengerti kondisi keluarganya dan membuatnya berubah jadi lebih baik :)
@Kakaakin. Waktu aku SMP dulu, aku juga punya teman yang seperti itu. Perempuan juga. Dan juga jadi nggak baik perilakunya. Sayang ya :(