credit |
James memperhatikan ruangan di lantai bawah ini. Tidak terlalu luas, penuh dengan rak-rak buku berukuran besar yang tersusun rapi di sisi-sisi ruangan. Dan sebuah rak dengan tinggi sepinggang laki-laki dewasa yang terisi dengan buku-buku cerita anak-anak. Beberapa bukunya sudah tak rapi lagi, lecek di mana-mana karena seringnya dibaca oleh si pemilik toko. Disentuhnya rak yang sebenarnya masih tampak kokoh, namun sayangnya catnya sudah mulai mengelupas.
"Aku tak ingin mereka membongkar toko buku ini, James. Tempat ini terlalu berharga untuk kami," kata Emely sambil menyentuh pundak nenek Jo.
"Tapi toko ini sepi pengunjung akhir-akhir ini, Emely." James memperjelas situasi yang sedang dialami Emely dan nenek Jo saat ini. Emely sebenarnya membenarkan ucapan James, namun dalam hatinya tetap tak ingin toko buku ini pindah tangan.
"Semua karena mereka mendirikan toko buku yang lebih menarik,"kata Emely sambil memandang di seberang jalan. Di sana ramai, di sebuah toko buku besar yang lebih lengkap koleksinya dan sudah tiga minggu ini menggelar diskon sejak grand openingnya.
Nenek Jo berjalan menuju Emely, menyentuh punggungnya sejenak kemudian meninggalkan mereka berdua untuk mengurus buku-buku yang barutiba, yang hendak mereka jual hari ini. Emely memandang nenek Jo dengan pandangan sedih. Dia memahami perasaan nenek Jo jikalau toko buku ini akan benar-benar dirobohkan oleh para pengembang.
"Mungkin ada baiknya kamu menerima saran Julian,"ucap James dengan sangat hati-hati.
"Tidak! Tidak akan pernah!" tukas Emely kasar. Dia marah pada usulan James.
"Emely, tenanglah." James menyentuh lengan Emely lembut. "Cobalah berfikir jernih sejenak. Hutang kalian pada bank akan bisa kalian tutup dengan cek dari Julian."
"James, oh tidak! Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana sakitnya kami kehilangan toko buku ini." Emely mulai terisak.
"Tapi kalian bisa membuka toko buku baru di sana," ucap James sambil menunjuk sebuah mall yang sedang dalam proses pembangunan.
"Dengan konsep toko buku seperti di mall yang juga belum tentu akan menyenangkan?"
"Kau terlalu menutup diri dengan perubahan, Emely."
"Aku tak menutup diri, James! Hanya saja toko buku ini sudah jadi hidup kami."
Bersamaan dengan Emely menghembuskan kalimatnya, James memasukkan tangannya ke saku celana. "Kapan batas pembayaran hutangmu?"
"27 Maret."
"Dua minggu lagi," batin James.
"Dan sebelum 27 Maret, aku akan usahakan apapun untuk menutup hutang itu." Emely berucap sambil meninggalkan James di tengah toko, yang biasanya digunakan Emely untuk membaca dongeng bagi para pengunjung.
Saat keluar toko, ponsel di dalam jaket James berdering. Ada nama Julian tertera.
"Sedang kuusahakan. Tak mudah mengubah keputusannya. Beri aku waktu lagi." James memohon tambahan waktu pada Julian.
"Persulit akses peminjaman Emely pada bank lain. Itu kuasamu, Julian. Akan kubuat dia menyetujui perjanjianmu."
"Aku tak ingin mereka membongkar toko buku ini, James. Tempat ini terlalu berharga untuk kami," kata Emely sambil menyentuh pundak nenek Jo.
"Tapi toko ini sepi pengunjung akhir-akhir ini, Emely." James memperjelas situasi yang sedang dialami Emely dan nenek Jo saat ini. Emely sebenarnya membenarkan ucapan James, namun dalam hatinya tetap tak ingin toko buku ini pindah tangan.
"Semua karena mereka mendirikan toko buku yang lebih menarik,"kata Emely sambil memandang di seberang jalan. Di sana ramai, di sebuah toko buku besar yang lebih lengkap koleksinya dan sudah tiga minggu ini menggelar diskon sejak grand openingnya.
Nenek Jo berjalan menuju Emely, menyentuh punggungnya sejenak kemudian meninggalkan mereka berdua untuk mengurus buku-buku yang barutiba, yang hendak mereka jual hari ini. Emely memandang nenek Jo dengan pandangan sedih. Dia memahami perasaan nenek Jo jikalau toko buku ini akan benar-benar dirobohkan oleh para pengembang.
"Mungkin ada baiknya kamu menerima saran Julian,"ucap James dengan sangat hati-hati.
"Tidak! Tidak akan pernah!" tukas Emely kasar. Dia marah pada usulan James.
"Emely, tenanglah." James menyentuh lengan Emely lembut. "Cobalah berfikir jernih sejenak. Hutang kalian pada bank akan bisa kalian tutup dengan cek dari Julian."
"James, oh tidak! Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana sakitnya kami kehilangan toko buku ini." Emely mulai terisak.
"Tapi kalian bisa membuka toko buku baru di sana," ucap James sambil menunjuk sebuah mall yang sedang dalam proses pembangunan.
"Dengan konsep toko buku seperti di mall yang juga belum tentu akan menyenangkan?"
"Kau terlalu menutup diri dengan perubahan, Emely."
"Aku tak menutup diri, James! Hanya saja toko buku ini sudah jadi hidup kami."
Bersamaan dengan Emely menghembuskan kalimatnya, James memasukkan tangannya ke saku celana. "Kapan batas pembayaran hutangmu?"
"27 Maret."
"Dua minggu lagi," batin James.
"Dan sebelum 27 Maret, aku akan usahakan apapun untuk menutup hutang itu." Emely berucap sambil meninggalkan James di tengah toko, yang biasanya digunakan Emely untuk membaca dongeng bagi para pengunjung.
Saat keluar toko, ponsel di dalam jaket James berdering. Ada nama Julian tertera.
"Sedang kuusahakan. Tak mudah mengubah keputusannya. Beri aku waktu lagi." James memohon tambahan waktu pada Julian.
"Persulit akses peminjaman Emely pada bank lain. Itu kuasamu, Julian. Akan kubuat dia menyetujui perjanjianmu."
Waaahhh...si Jamesnya 'mata-mata' nih ternyata ya :(
BalasHapus@mbak orin. nyatanya seh gitu, mbak :(
BalasHapusberasa lihat film baca cerita ini hehehe
BalasHapusJahat banget sih...
BalasHapusSetiap baca tulisannya Mbak Rochma kayak novel terjemahan. Salut bisa bikin tulisan yang begini :)
BalasHapusaduh berkomplot ini, kasihan Emely ..
BalasHapusBerasa lagi baca tulisan orang bule :D, tulisannya ngalir
BalasHapusterima kasih semuanya, sudah bersedia membaca :)
BalasHapusJadi inget you've got a mail :D
BalasHapusJames tega yah -_-" . Ceritanya mengalir,enak dibaca.
bagus mba..ga nyangka james nya begitu..
BalasHapusJames ternyataaa hmmm *kasian Emiliy
BalasHapus