Setelah saya menikah, keinginan untuk memiliki anak lebih dari dua, itu sudah jadi rencana saya. Tapi, sepertinya keinginan itu harus saya pertimbangkan lagi. Mengingat, saya sudah dua kali melahirkan dengan cara SC. Dan FYI, jarak setelah melahirkan SC itu minimal 2 tahun karena perut bagian dalam butuh waktu untuk pemulihan.
Karena saya itu agak-agak parno dengan aktifitas medis seperti halnya SC, mau nggak mau saya harus memilih untuk memakai KB. Ada itu tetangga saya yang anak pertamanya masih usia 6 bulan, dia sudah hamil sebulan. Dan anak pertama dilahirkan secara SC! Ya Tuhan, kalau saya sungguh nggak sanggup.
Udah ah curcolnya. Sekarang saya mau cerita saja pengalaman menggunakan KB suntik, pil dan IUD. Tapi perlu jadi catatan ya, reaksi tiap ibu terhadap masing-masing jenis KB ini berbeda-beda. Tergantung pada sistem hormon dan kesehatan masing-masing ibu. Oh iya, ada beberapa cerita saya ini yang mungkin sifatnya ‘dewasa’. Tapi harus saya sertakan karena ya itu memang cerita apa adanya dari reaksi penggunaan masing-masing KB.
1. KB Suntik 3 Bulan
Saya menggunakan KB suntik ini sebulan setelah melahirkan Arya lima tahun yang lalu. Sejak awal, saya sudah disarankan oleh mertua untuk menggunakan KB non hormonal, salah satunya adalah IUD. Setelah berdiskusi dengan suami, dia pun lebih memilih menggunakan KB hormonal saja. Apalagi, saya paling takut dengan urusan yang berhubungan dengan medis, termasuk pasang IUD. Karena ketakutan yang sebenarnya bukan jadi alasan itu, saya beranikan diri untuk KB suntik. Sebenarnya, suntik sendiri saya juga gemetar deg-deg-an. Tapi berhubung nggak ada jalan keluar lain, ya sudahlah, mau nggak mau dihadapi saja.
KB suntik 3 bulan ini disarankan oleh bidan ketika pertama kali saya mengutarakan memilih KB suntik. Menurut bidan, KB ini memang mencegah penghentian air susu ibu yang banyak terjadi sebagai efek munculnya penggunaan KB suntik. Dan penggunaan KB ini disarankan hanya berlangsung selama maksimal dua tahun saja, sampai bayi kita lulus ASI 2 tahun.
Melalui kartu kontrol, berat badan saya selama menggunakan KB ini terbilang cukup stabil. Sempat naik, tapi nggak sulit untuk saya menurunkannya. Ketika melihat kartu kontrol saya di bagian berat badan ini, ibu bidan menyampaikan supaya saya nggak perlu khawatir, seperti cerita beberapa teman yang berat badannya naik setelah menggunakan KB suntik.
2. KB Suntik 1 Bulan
Setelah saya berhenti menyusui Arya di usianya yang ke 20 bulan karena saya mengalami kecelakaan, ibu bidan menyarankan untuk beralih ke KB suntik 1 bulan. KB ini memang disarankan untuk para ibu yang sudah tidak menjalani proses menyusui karena memiliki efek samping, salah satunya adalah menghentikan produksi ASI.
Baca juga : Pentingnya Fisioterapi Setelah Patah Tulang
Baca juga : Pentingnya Fisioterapi Setelah Patah Tulang
Awalnya, saya bahagia menggunakan KB suntik 1 bulan ini, karena setelah jalan beberapa bulan, berat badan saya stabil, wajah juga nggak muncul flek hitam sebagai efek hormonal. Tapi ternyata muncul masalah baru, rentang waktu menstruasi saya nggak sama ditiap bulannya. Misalkan, bulan ini menstruasi hanya 5 hari, bulan depan malah molor lama jadi 10 hari. Hampir begitu tiap bulan. Padahal sebelum saya hamil, rentang waktu menstruasi saya antara 7 – 9 hari. Yang bikin repot adalah, dalam satu bulan saya bisa menstruasi dua kali. Harus catat betul-betul supaya nggak salah menentukan apakah saya sedang menstruasi ataukah itu malah istihadhoh.
Itu baru masalah menstruasi ya. Setelah satu tahun menggunakan KB ini, muncul masalah lain. Setiap selesai berhubungan dengan suami, ada flek meskipun sedikit. Hampir seperti itu terus dan itu membuat saya nggak nyaman. Suami menyarankan untuk periksa ke dokter kandungan. Oke, berangkatlah saya ke dokter kandungan dengan hati berdebar-debar takut kenapa-kenapa. Dan memang kenapa-kenapa. Huhu.
Dari hasil USG, ternyata ada penebalan dinding rahim yang mana penebalan ini harusnya keluar ketika menstruasi. Tapi karena saya menggunakan KB suntik 1 bulan ini, dinding rahim yang menebal ini ‘ditahan’ di dalam dan nggak bisa dikeluarkan oleh tubuh secara otomatis ketika saya menstruasi. Menurut dokter, tiap bulan dinding rahim ini semakin tebal dan akan berbahaya untuk saya karena akan menyebabkan kista. Saya hanya melongo dan nggak ngerti harus bagaimana karena dinding rahim yang menebal itu, tebalnya sudah hampir 1 cm T_T
Untungnya, dokter memberikan jalan keluar pertama sebelum diberi tindakan medis. Saya dianjurkan untuk menggunakan pil KB sebagai alat kontrasepsi. Pil KB ini berfungsi untuk meluruhkan dinding rahim yang menebal tadi dan dikeluarkan bersamaan dengan menstruasi di setiap bulannya. Dokternya ketika itu sih berpesan, jangan sampai saya kaget kalau di awal-awal menggunakan pil KB nanti, menstruasi saya banyak sekali. Karena memang ini proses pembersihan rahim dari penebalan itu tadi.
3. KB Pil
Menggunakan KB pil itu, sebenarnya sudah disarankan ibu saya sejak saya hamil Arya. Tapi, karena saya orangnya pelupa dan memilih untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi ini, saya mengabaikannya. Lha ndilalah, dokter malah menyarankan menggunakan KB pil karena kondisi tubuh saya bermasalah ketika menggunakan KB suntik.
Merk KB pil yang saya pakai, harganya nggak mahal amat sih. IDR 160.000 setiap bulan wajib saya siapkan untuk alat kontrasepsi yang satu ini.
Penggunaan KB pil ini, memang agak istimewa. Menurut apoteker di apotek langganan saya beli, pil harus diminum pada jam yang sama setiap harinya. Kalaupun terlambat, toleransinya adalah satu jam setelahnya. Jika melebihi satu jam, yang disarankan adalah test pack dahulu karena takutnya malah hamil. Kalau memang hasil test pack-nya negatif, baru beli pil baru dan memulai dengan siklus baru.
Karena saya orangnya pelupa sekali, saya pasang alarm di ponsel pada jam yang sama setiap harinya, dan pil KB saya letakkan di dompet karena dompet saya bawa ke mana-mana. Kalau misalnya sedang di luar ketika waktu minum pil tiba, tinggal telan saja meskipun nggak ada air. Secara ukurannya kecil sekali dan rasanya nggak pahit. Benar-benar harus disiplin. Alarm bunyi, jangan diabaikan. Kegiatan apapun, harus dihentikan dan segera minum pilnya.
Seperti kata dokter kandungan, di awal-awal menggunakan pil KB, menstruasi saya banyak sekali. Proses peluruhan dari penebalan dinding rahim itu sepertinya berjalan baik. Alhamdulillah, bikin hati tenang. Lalu, ada efeknya nggak?
Ada!
Berat badan saya naik satu kilogram setiap bulannya. Meskipun saya diet, meskipun saya olah raga, kenaikan berat badan itu nggak bisa saya hindari. Saya meminum pil KB itu, hanya 6 bulan, dari Oktober 2014 sampai April 2015. Bisa dihitung kan kira-kira kenaikan berat badan saya berapa? 6 kg selama 6 bulan! Ya Allah, stres rasanya kalau naik ke timbangan berat badan.
Konsultasi dengan bidan, saran yang diberikan adalah saya harus menggunakan alat kontrasepsi yang non hormonal, salah satunya adalah IUD. Dengar kata IUD, merinding duluan dong. Saya minta saran lain yang lebih ‘masuk akal’ buat ketakutan saya, kata beliau nggak ada. Bisa saja sebenarnya menggunakan KB alami dengan menghitung waktu kalender menstruasi. Tapi karena waktu menstruasi saya sendiri juga nggak stabil karena efek penggunaak KB suntik dan KB pil, ibu bidan ini ngga menyarankan KB alami.
Setelah ngobrol-ngobrol sama suami, akhirnya kami berdua sepakat untuk menghentikan penggunaan pil KB dan konsentrasi pada program hamil anak kedua.
4. IUD
Setelah menggunakan tiga macam KB hormonal dengan reaksi tubuh yang ternyata nggak memungkinkan untuk dilanjutkan, mau nggak mau saya ikuti saran ibu bidan untuk menggunakan IUD sebagai kontrasepsi setelah saya melahirkan Fatin bulan April 2016 lalu.
Seorang teman SMA bercerita, dia memasang IUD ketika di meja operasi saat menjalani SC. Jadi nggak perlu takut ketika proses pemasangan IUD. Sebenarnya, cerita itu sudah saya keep jauh-jauh hari dan berencana menyampaikan kepada dokter kandungan saya kalau saja proses VBAC saya gagal dan saya harus SC untuk kedua kalinya. Tapi saya lupa! Ingatnya, satu jam sebelum saya masuk ke ruang operasi, sedangkan apotek RS penyedia alat IUD ketika itu masih tutup karena saya operasi jam 6 pagi.
IUD dipasang di rahim saya menjelang masa nifas saya selesai. Ternyata, ketakutan itu akhirnya hanya menyisakan cerita saja. Keterpaksaan itulah yang membuat akhirnya saya berani (lebih tepatnya mau nggak mau) untuk pergi ke puskesmas. Pemasangan IUD berjalan lancar dan nggak sakit.
Ada kendala?
Ada. Ketika berhubungan dengan suami, suami merasa nggak nyaman. Sekitar tiga hari setelah pemasangan, saya kembali ke puskesmas dan menceritakan ketidaknyamanan kami tadi. Ibu bidannya paham betul karena ternyata masalah seperti ini memang sering terjadi pada para ibu pengguna IUD. Yang dilakukan ibu bidan adalah memotong sedikit benang di IUD di rahim saya dengan hati-hati. Nggak lama kok prosesnya, meskipun lebih cepat proses pemasangannya sih.
Dan sekarang, sudah satu tahun lebih alat kontrasepsi itu ada di dalam tubuh saya dan saya nyaman-nyaman saja. Soal efek samping berupa perubahan hormon tubuh? Alhamdulillah, belum ada. Menstruasi saya lancar setiap bulannya dan berat badan saya tidak naik.
.
.
Itu sih cerita saya menggunakan beberapa alat kontrasepsi yang disarankan oleh pemerintah. Yang perlu diingat, reaksi tubuh tiap ibu itu berbeda-beda. Nggak perlu khawatir soal efek samping, asalkan kita selalu peka dengan perubahan-perubahan yang terjadi di pada tubuh kita. Malah, sebisa mungkin catat ya, karena dokter atau bidan suatu saat akan membutuhkan catatan itu ketika kita mengunjungi mereka.
Lebih nyaman pakai IUd yah. Saya jg rencananya mau pasang itu abis lairan... Doakan akhir bulan depan lairannya lancar yah
BalasHapusAku sering banget lihat bacaan2 ttg IUD yg bikin jadi tambah takut. Mungkin kalo udah ngerasain langsung nggak sehoror cerita2 itu kali ya zuh....
BalasHapusWah Mbak Ria udah nyobain semua? AKu belum mbak :(
BalasHapusMaunya sih IUD aja tapi masih nyiapin mental maju mundur. Tapi emang lbh ngeri kesundulan lg ketimbang pakai IUD ya kata org2 hehe :P
Jadi keingetan pengalaman Ibu saya yang kesundulan sampe dapet adek lagi pas SMA ahahaha. Itu gara2 lupa suntik KB. Tapi jadi rame enaknya.
BalasHapussaya cocok nya pake pil :)
BalasHapusAih.. Lengkap ya. Aku blom pernah nyobain satupun yg diatas. Pengen iud tapi masih deg2an. Hahahahah..
BalasHapusHarus peka dengan perubahan yang terjadi di tubuh. Noted. Makasih share-nya Mbak Ria, saya membacanya hati-hati sekali, buat mencernanya :)
BalasHapusaku dah coba semuaaa alat kontrasepsi hueheheh.
BalasHapusIUD yang paling bikin ngenes, nyeri perut bawah, ga enak, mens deras banget per dua minggu sampai sering kena anemia dan badan kurus kering.
pake KB suntik 3 bulan, full spotting 3 bulan
suntik 1 bulan, capek ah sakit di njus tiap bulan
terakhir KB implan, udah sampai bongkar pasang 3 kali , total 7 tahun pakai sejak anak kedua.
Terakhir nggak kuat, aku lepas nih implan krn mens brenti, badan linu kabeh, kepala pusing wae.
akhire now nggak pake apa2, cuma sistim kalender dan kekuatan pengendalian imron, eehhh
Akhir-akhir ini para dokter kandungan mulai membiasakan para ibu hamil untuk merencanakan kelahiran sambil menyiapkan pilihan alat KB juga. Sebab urusan kesundulan ini ternyata cukup mempengaruhi tumbuhkembang anak yang disunduli. Termasuk menyarankan pasang IUD ketika bersalin. Sebab sudah naturalnya kalau ibu sudah melahirkan, ia akan repot mengurusi anaknya sampai lupa ber-KB.
BalasHapus