Menikmati festival berunsur seni kadang kala memang sulit untuk sebagian orang. Termasuk saya. Tetapi untuk festival yang baru-baru saja saya datangi ketika kemarin saya berkesempatan liburan ke Yogyakarta, rasanya nggak sesulit itu menikmatinya.
Namanya Festival Payung Indonesia 2018 yang digelar untuk yang kelima kalinya di area candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Festival yang sebenarnya merupakan ajang menunjukkan kreatifitas masing-masing pengerajin dari berbagai daerah di Indonesia. Diadakan pada tanggal 7 – 9 Sepetember 2018, dan Alhamdulillah saya dan keluarga bisa menyaksikan sendiri bahwa payung tidak hanya sekadar untuk menaungi badan saja ketika terik atau hujan.
Tanggal 9 September 2018, saya sekeluarga bertolak ke Magelang. Sebelum berangkat ke Yogyakarta, saya sudah woro-woro ke suami kalau Festival Payung Indonesia ini sedang digelar di area candi Borobudur. Awalnya, kami nggak berencana ke Borobudur, anak-anak masih kecil juga dan untuk naik sampai ke puncak butuh effort yang besar karena pastinya di sana bakalan panas banget. Tapi setelah suami melihat image resmi untuk event ini, dan tentunya dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk ke sana dengan berbagai resiko (sebenarnya resiko paling mendasar adalah rewelnya anak-anak di siang yang sangat terik).
Berangkat jam 9.20 pagi setelah sarapan di hotel, awalnya lancar-lancar saja meskipun ketika itu sedang long weekend. Mungkin karena jalan provinsi yang cenderung lebar, jadinya nggak ngaruh juga itu meskipun sepanjang perjalanan ada beberapa kali karnaval dan gerak jalan. Sebenarnya, menuju Borobudur nggak lama kok. Setengah sebelas kita sudah memasukin kawasan Borobudur. Tapi karena padatnya kendaraan yang menuju ke sana, belum masuk parkiran saja sudah panjang antrian mobil. Sekitar setengah dua belas kami baru benar-benar turun dari mobil dan langsung menuju ke loket untuk membeli tiket masuk.
Menuju ke loket, kami sudah disambut dengan dekorasi yang menampilkan payung sebagai fokusnya. Inginnya langsung foto-foto saking senangnya bisa menyaksikan sendiri festival yang tarafnya internasional ini, tapi ternyata antrinya panjang. Ambil foto dekorasi tanpa bocor saja, susah banget mau fokus di tengah. Ya sudah, lewati saja. Sambil berharap di dalam akan lebih banyak spot yang lebih oke dan bisa hasilkan foto bagus.
Meskipun Festival Payung Indonesia ini dipusatkan di taman Lumbini yang berada di dalam Kompleks Candi Borobudur, tapi di sepanjang jalan menuju candi Borobudur, payung-payung sudah bertebaran dimana-mana. Bisa dipakai jadi spot foto-foto. Suami saya malah semangat sekali milih spot-spot yang ciamik buat jadi background foto.
Nggak pakai nunggu lama, kami langsung menuju taman Lumbini. Fatin sudah heboh sendiri, karena dekat taman Lumbini, ada tiga delman dengan kuda coklat yang gagah banget. Lain si Arya, sudah jawil-jawil saja minta naik kereta kelinci. Mereka sudah pasang wajah memaksa supaya saya dan suami mau mengajak mereka naik delman dan kereta. Memang dua kendaraan ini disiapkan buat antar pengunjung keliling Kompleks Candi Borobudur.
Tapi saya cegah dan tunda-tunda dong keinginan mereka. Saya maunya keliling dulu di festival ini, cari-cari informasi, foto-foto baru keliling Borobudur naik kereta. Syukurlah, anak-anak mau diajak kerja sama, meskipun sedikit rengekan kok saya nggak selesai-selesai.
Memasuki taman Lumbini, kami disambut dengan rangkaian bambu yang ditancapkan di tanah menandakan kalau dekorasi ini sebagai pintu masuk menuju area Festival Payung Indonesia 2018. Ternyata, ketika itu sedang berlangsung kegiatan melukis di payung untuk anak-anak SD. Lihat anak-anak melukis dengan gambar yang ada di imajinasinya mereka, jadi pengen ikutkan Arya kegiatan itu. Hihi. Asyik gitu mereka. Difoto banyak orang yang lewat, mereka cuek aja. Nggak peduli entah gambar mereka bagus atau nggak, yang penting melukis.
Siang itu, taman Lumbini benar-benar penuh dengan payung dari berbagai daerah, berbagai corak dan berbagai bahan. Stand pertama yang saya hampiri adalah stand dari Banyumas. Pesertanya masih muda. Beberapa payung yang mereka pamerkan dan mereka jual, memang motifnya menunjukkan semangat anak muda.
Berbeda dengan stand kedua, yang pembuat payungnya adalah seniman asal Malang. Seneng dong ya, karena ketemu sesama orang Jawa Timur. Namanya mbah Rasimun. Usianya sudah 79 tahun, tapi semangat untuk terus membuat payung masih ada sampai sekarang. Tahun lalu saat festival ini diselenggarakan di Solo, beliau juga ikut. Bahkan sampai mendapatkan penghargaan dari Kesultanan Solo atas keaktifan beliau melestarikan payung tradisional Indonesia.
Karena usia beliau yang sudah sepuh, saya bertanya tentang pelestarian payung tradisional buatan beliau. Anak yang ketika itu ikut mendampingi mengatakan kalau mereka memang sudah punya kader tapi mereka ingin ikut terus festival seperti ini supaya orang tahu bahwa payung tradisional itu masih ada dan perlu dilestarikan. Dan yang mereka sasar, tentunya anak-anak muda.
FYI, Festival Payung Indonesia ini pertama kali diadakan tahun 2014 di Solo. Penyelenggaranya adalah Mataya arts&heritage, yang melihat perlu sekali melestarikan payung tradisional Indonesia dan mengesplorasi tradisi payung Indonesia dengan melibatkan partisipasi beragam masyarakat. Dan tahun 2018 ini, festival ini punya tema ‘Sepayung Indonesia, Lalitavistara’ yang menjadi perekat keberagaman dan perdamaian.
Perekat keberagaman. Setuju sih ya sama tema yang penyelenggara pilih untuk tahun ini. Payung tradisional yang dipamerkan, yang terbuat dari kertas itu, memang masih ada. Tapi dengan kreatifitas para peserta, ada jenis-jenis payung lain yang berusaha peserta eksplore.
Misalkan saja, payung yang dirajut dengan menggunakan benang. Selama ini saya hanya melihat rajutan itu di baju, sepatu atau tas. Tapi ini payung. Detail, penuh warna, rapi, kuat dan menunjukkan sekali kalau pembuatnya adalah orang yang telaten.
Ada juga payung dengan berbagai gambar ala anak muda. Misalkan saja yang kemarin sempat bikin Arya heboh itu adalah payung dengan gambar karakter Gundam. Ada juga payung ecoprint gambar wajah tokoh-tokoh Indonesia. Atau detail-detail khas timur tengah dengan satu atau banyak warna. Yang kemarin bikin saya kagum salah satunya adalah payung dengan anyaman dari daun lontar.
Festival yang masuk dalam Top Ten National Event-Calender of Event Indonesia 2018 oleh Kementrian Pariwisata ini, juga ada peserta dari luar negeri. Salah satunya dari Thailand yang sudah menjadi sister-festival sejak tahun 2016. Di Thailand sendiri ada namanya Bo Sang Umbrella Festival, yang mana bersama Festival Payung Indonesia bersama-sama menuju Asian Umbrella Community.
Asyiknya di stand milik Thailand adalah kita diijinkan untuk melukis sendiri gambar sesuai keinginan kita dengan menggunakan payung khas Thailand hanya dengan mengisi kertas survey. Sayangnya, kemarin saya mau coba tapi kertas surveynya sudah habis. Kertas survey disediakan jumlahnya sesuai dengan payung yang disediakan penyelenggara. Orang-orang antusias saat melukis payung Thailand yang mereka pegang, bahkan aktif bertanya bagaimana cara membuat lukisan yang bagus dengan warna yang cocok dengan kain yang ada di payung.
Melihat sendiri festival ini, saya jadi mengerti tentang upaya melestarikan barang-barang khas Indonesia yang mengandung unsur seni. Saat melihat ibu-ibu merajut dengan rapinya untuk membuat sebuah payung, atau saat anak-anak muda mempromosikan payung-payung buatan mereka kepada para pengunjung, atau ketika melihat pengunjung mengambil foto dan memamerkannya di media sosial masing-masing. Semoga saja, tahun depan Festival Payung Indonesia makin keren acaranya sehingga makin banyak peminatnya dan makin banyak pengunjungnya sehingga pelestarian payung khas Indonesia tetap terjaga.
Wuaah cantik-cantik payungnya. Waah keren kreativitas para pembuatnya.
BalasHapusEh, kayaknya ada teman2 blogger Makassar yang crafter juga ke sini nih, Mbak Ria. Andai tahu Mbak Ria ke sini ... saya bisa bilang ke teman2.
ah...keren deh dikau mbak Ri...bisa ngebolang sampai kesini. Jadi pengen pake banget bisa lihat festival2 kece di Indonesia
BalasHapuswaah seruuu, pengen ikut workshopnya bareng anak
BalasHapuswis baru tahu kalau ada festival payung, apalagi payung payungnya tradisional di Indonesia. aku kira cuman payung payung yang ditaruh diatas taman gitu saja. Tapi ada pengerajin payung juga. keren...tahun depan harus hadir
BalasHapusDuh mba acaranya bagus banget, kalo tahu di Jogja sih pengen banget ke sana. Naik tol sudah sampai aja dari Surabaya :)
BalasHapusMbak ini masuknya gratis nggak? maaf kalo kelewat bacanya
dulu kepikiran, kayaknya di masa depan payung gak bakal laku deh. Kayaknya payung bakalan jadi barang langka deh.
BalasHapusLama2 kelihatan, bahwa payung bisa dialihkan menjadi kreativitas di tempat2 kafe atau ajang festival kayak gini, yang justru bikin saya pengen ngelukis2 tu payung. Seru aja liat payungnya yang cantik2.
Yuuhhh senengnya yaa bisa lihat festival keren gini... jadi ketagihan gak pengen lihat festival lainnya hehe
BalasHapus