Kalau ditanya saya mengoleksi apa di rumah, saya bakal jawab, nggak ada barang khusus yang saya koleksi. Karena rumah saya ngga ada space lagi buat naruh koleksian saya. Tapi, kalau ditanya senang membeli apa, itu beda lagi.
Akhir-akhir ini saya khilaf kalau sudah masuk toko stationary. Kenapa ya, lucu-lucu ajah barang-barang yang dijual di sana. Mulai dari penghapus dengan berbagai macam bentuk, bolpoin warna-warni, dan lain sebagainya. Apalagi sekarang nih, banyak toko online yang menjual stationary stuff yang kiyut-kiyut dengan harga yang lumayan miring.
Tapi ada satu benda yang menarik perhatian saya. Dan ternyata, diam-diam saya mulai menambah jumlahnya. Saya ngga bilang mengoleksinya ya, tapi jumlahnya paling banyak diantara semua benda yang saya punya.
- NOTEBOOK -
Saya ingat-ingat lagi, berawal dari mana saya mulai mengumpulkan notebook. Saya cerita sedikit saja ya soal kenapa saya suka notebook dan dunia tulis-menulis pakai tangan.
Waktu saya masih kecil nih, suatu hari almarhum Bapak menyodori saya sebuah buku diary yang manis sekali. Buku diary jaman dulu, yang bercover seorang gadis berambut panjang, dengan sedikit glitter di permukaannya, berbau harum dan warnanya cerah-cerah. Yang diberi Bapak, warnanya hijau muda.
Pesan beliau hanya satu ketika itu: Catatlah kejadian-kejadian sejarah yang terjadi selama ini. Dan catatlah apa yang kamu rasakan sebebas mungkin.
Saya ngga ngeh, apa maksud Bapak menyuruh saya melakukan hal-hal yang asing buat saya. Tapi saya yang ketika itu masih anak-anak, hanya merasa bahagia saja dapat sesuatu yang kiyut banget pada jamannya.
Bapak saya nggak memberi tahu bahwa menulis di buku diary itu bisa meringankan pikirhan yang kalut, bisa menjadi penyeimbang saat emosi saya tidak stabil, juga sebagai penyalur apa-apa di pikiran saya yang tidak bisa saya sampaikan pada siapapun.
Dan mungkin beliau juga ngga menyadari soal healing process ini. Secara soal keilmuan, beliau bukan belajar tentang terapi tapi belajar tentang ilmu teknik. Hebat kan beliau? Memberikan sesuatu yang beliau ngga ngerti maksudnya apa, tapi ternyata manfaatnya sangat besar buat saya. Bahkan sampai sekarang.
Menulis diary, ternyata sangat membantu menyimpan apa-apa yang sudah keluar dari pikiran saya. Rasa lega yang sangat besar setelah menulis apa saja yang terjadi pada saya hari itu, ternyata menjadi candu. Apalagi, saya bukan tipe anak yang suka menceritakan sesuatu pada orang lain.
Dan candu ini, berlanjut ketika saya memutuskan untuk masuk SMA di luar kota dan jauh dari orang tua. Keharusan untuk beradaptasi dengan banyak orang, menghadapi masalah dan mengambil keputusan segera sendiri, ketidakmudahan saya 'so close' dengan seseorang sebagai tempat curhat, menjadikan diary sebagai center saat saya benar-benar butuh teman bercerita.
Meskipun saya yang ketika itu sudah remaja menyadari satu hal, bahwa menulis di buku diary tidaklah membantu saya menyelesaikan masalah, tapi buku diary membantu saya untuk menurunkan tingkat stres yang terjadi pada saya.
Lalu pada saat kuliah, saya menyadari bahwa Bapak ternyata sudah mempraktekkan banyak hal dalam keilmuan psikologi anak pada saya dan adik sejak kami kecil. Salah satunya self healing melalui buku diary ini.
Kegiatan menulis buku diary berhenti sejak saya mengenal dunia menulis di internet. Tapi karena jiwa anak muda melankolis makin berjaya mengalahkan jiwa remaja yang terkenal maunya sendiri, aktifitas menulis diary beralih haluan menjadi menulis puisi. Sudah ngga bisa dihitung saya menulis puisi di mana saja, berapa banyak, dan seberapa panjang. Ada kertas kecil, saya tulis puisi. Ada kertas bekas laporan kuliah yang salah, saya tulis puisi. Beberapa saya kumpulkan (dan saya tertawa ketika kapan hari menemukan ini saat beres-beres barang di rumah ibu), beberapa yang lain berserakan entah di mana.
Setelah saya menikah, hobi menulis saya ini makin naik tingkat. Beruntung saya punya suami yang membebaskan saya melakukan apapun untuk mengurangi kadar stres saya sebagai ibu muda. Tak jauh dari dunia kertas yang saya kenal dari almarhum Bapak, saya akhirnya mengenal yang namanya paper craft.
Scrapbook dan greeting card saya dalami pelan-pelan. Tapi namanya manusia, belum mahir di satu bidang, sudah bergaya ingin belajar yang lain. Saya pun begitu. Scrapbook dan greeting card tetap jalan, tapi saya belajar hal baru. Book binding, terutama book binding dari Jepang.
Menarik? Sangat!
Berterima kasih saya sama mbak Winda Krisnadefa dan bu Dey yang mengajak saya ikut kegiatan amal di tahun 2014, yang mengenalkan saya pada asyiknya bikin book binding.
Di ponsel saya, ada aplikasi Pinterest. Dan saya belajar teknik book binding sederhana dari aplikasi ini. Dengan alat seadanya karena alatnya susah didapat di Indonesia. Semua hal dalam proses book binding ini, begitu membahagiakan. Mulai dari mengukur kertas, menyulam benang atau pita di kertas, memberi hiasan pada cover buku, sampai pada proses publikasi di media sosial.
Semua itu kemudian terhenti karena anak-anak sangat menyita waktu saya dan paper craft stuff itu tidak mungkin dijadikan mainan mereka karena alat-alatnya dan bahan-bahannya mudah rusak.
Saya lupa tepatnya kapan, tiba-tiba suami saya menyodorkan sebuah notebook yang dia dapatkan dari pelatihan di Surabaya. Dia paham, bahwa saya ngga bisa jauh-jauh dari yang namanya menulis di kertas, membuat banyak rencana, evaluasi diri, membuat banyak draft di buku-buku kosong atau mencoret-coret untuk menetralkan suasana hati. Notebook dengan banyak iklan benda-benda elektronik dan mesin-mesin pabrik. Saya terima saja, seolah saya dapat bisikan, "Milik aku, miliki aku."
Sejak itu, jumlah notebook ini bertambah. Dari yang biasa saja, unik, lucu, bahkan dapat dari acara pernikahan pun, saya simpan. Makin bahagia lagi, pas kemarin bongkar barang-barang bapak yang ngga terpakai, saya menemukan setumpuk buku agenda kerja. Serasa menemukan harta karun.
hahahaha pantesan igstory'nya kemarin liat notebook gak tahan. Memang menggoda, dan trakir aku beli notebook 2thn lalu di Gramedia. Kan skrg Gramedia ada tuh spot lucu2 hajaja ratjun emang.
BalasHapusTp alhamdulillah skrg udah bisa "menahan" hasrat untuk tak membeli stationary kiyut nan lucu itu mbak. Tapi ya tetep, saban ke mall ya tetep masuk, diliat2 doang...abis itu yaudzh cusss ciaobella. Soal'e pak suami biasanya trus ngeburu2 kalo liat aku diemmm sesaat, kuatir dia aku bakalan khilaf lagi.
Eaaa komenku kok dadi dowooo
Menulis memang bisa menjadi self-healing therapy. Saya juga kek gitu mbak.
BalasHapusTerima kasih sudah berbagi artikelnya mbak 😘😘
Notebook sekarang memang kece2 banget. Kalau nggak kuat2 jaga mata, kayaknya tiap ke toko buku bisa ngeborong deh :D
BalasHapusNotebooknya lucu-lucu mbak. Emang menulis itu menyenangkan apalagi writing therapy. Yang sangat membantu mengalirkan emosi melalui tulisan.
BalasHapusNulis di buku harian rasanya beda ama nulis di HP atau laptop ya Kak. Lebih seru nulis di buku, dan ternyata juga bisa buat healing. Btw, tulisannya bisa cantik gitu ya pakai spidol atau apa mbak?
BalasHapusMenulis itu kadang membantu kita dalam berimajinasi. Ada saja ide yang kadang muncul secara tiba-tiba dan random. Tapi ide itu sungguh bagus. Kadang malah memberikan kita jalan keluar yang nggak disangka-sangka.
BalasHapuspunya benda koleksi itu menyenangkan yaa, Mba. Saat hati sedang sedih, melihat benda-benda koleksi bisa mengurangi sedikit kesedihan yang dirasakan. Merawat benda koleksi memberi kebahagiaan untuk kita
BalasHapusaku dulu sejak zaman kuliah suka ngoleksi notebook, mba. ada yang buat kuliah, ada yang buat nyatet2 hal lainnya. sekarang sejak punya anak udah ga kober.. padahal bagus banget dan banyak manfaat dari menulis tangan itu
BalasHapusIh bener banget, hal-hal atau kejadian yang pernah kita lakukan atau alami itu bermanfaat banget kedepannya.. Sampe dulu pernah nyari notebook yang pernah aku pake buat catet-catet yang gak tau kemana, duh nyesel banget gak nyimpen rapi.. Tapi untungnya selalu ada backupan buat jaga-jaga.. hhu
BalasHapusManisnya Ri..
BalasHapusIni belum keluar notebook season greeting niih, makin blinkblink lagi aku kalau tau koleksimu yaa..
Manjiw!
Terus menulis dan mengukir sejarah yaa, Ri.
**akupun punya hobi yang sama. Dan anakku yang kedua suka banget nulis diary, memang masih suka-suka dia sih..tapi rutin setiap hari.
Alhamdulillah.
Candu banget memang mengoleksi dan journaling ini.
Aku juga lagi coba healing pakai notebook mbak. Memang melegakan kita mengisi jurnal harian. Mengucap syukur juga banyak hal. Kalau konsisten terapinnya, insyAllah akan ada hasil healingnya.
BalasHapus