Berbicara tentang apa yang saya sesali sekarang, sebenarnya ada banyak. Dikata dikasih pilihan untuk hidup lagi, saya ingin memperbaiki banyak kesalahan di masa lalu. Tapi Tuhan tidak memberikan pilihan ini bukan? Itulah mengapa ada istilah ‘Nasi Sudah Menjadi Bubur’. Penyesalah itu selalu di akhir.
Lalu ada quote begini, ‘Ketika Kehilangan, Kau Akan Mengerti Arti Memiliki’. Quote ini ada benarnya dalam salah satu frame kehidupan saya. Oke, saya auto mewek dulu. Karena saya menulis ini, sebenarnya karena ingin berbagi tentang penyesalan yang mungkin tidak sanggup saya ceritakan langsung karena belum-belum saya sudah nangis duluan.
Sebutlah Bapak, laki-laki pertama yang mengenalkan saya pada arti sebuah komunikasi. Sifat saya yang tidak mudah terbuka pada orang lain, sebenarnya adalah tempaan setiap hari dari Bapak dan Ibu. Beliau berdua tidak mengajarkan saya dengan baik, cara berkomunikasi yang efisien itu seperti apa. Bukan karena beliau berdua ini orang yang berkepribadian buruk, bukan. Lebih karena beban hidup dikala mereka mudalah yang menjadikan mereka juga sebagai pribadi yang tidak terbuka.
Lalu orang tua saya tidak mengajarkan tentang norma dan pengetahuan hidup? Oh, kata siapa? Mereka sangat mengajarkan itu. Bagaimana ketika keluarga kami harus mematuhi aturan-aturan yang dibuat, bagaimana keluarga kami harus disiplin terhadap jadwal harian, bagaimana saya dan adik diberi banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan konyol yang membuat kami sangat penasaran. Mereka ahlinya.
Tapi ada yang kurang beliau ajarkan pada kami. Yaitu kemampuan kami untuk berbagi emosi pada orang-orang terdekat. Karena Bapak tidak banyak bicara, kami akhirnya segan untuk bergelayut manja pada beliau. Karena Ibu saya terlalu kalem, kami akhirnya segan untuk bercerita tentang masalah-masalah kami. Seperti yang saya ceritakan di tulisan saya tentang buku harian, saya banyak mencurahkan isi hati dan kepala dengan menulisnya di buku harian aka diary.
Saya bukan anak perempuan yang dekat dengan orang tua saya. Yang akan menceritakan segalanya pada orang tua saya. Itulah mengapa, saya memilih diam. Memilih untuk memendam apa-apa yang saya alami dalam hati saja, mematrinya dalam-dalam. Alih-alih saya bercerita ke orang lain, wong cara untuk memulai cerita saja saya tidak mendapatkan kursus pribadi. Ada ketakutan, ada kekhawatiran, ada banyak kecemasan untuk memulai cerita ke orang lain. Dan saya enggan menempuh itu.
Dan itu terbawa sampai saya remaja. Lalu sekarang saya sedikit menyesal, kenapa saya dulu memilih untuk sekolah di luar kota ketimbang saya sekolah di kota sendiri, padahal ketika itu saya sudah diterima di sekolah favorit. Entah apa yang menjadi alasan kuat saya saat itu. Yang saya pikirkan hanya, saya ingin keluar dari rumah. Saya ingin pergi jauh. Saya ingin mengalami banyak kejadian-kejadian hebat di luar sana. Saya ingin bertemu banyak orang yang berbeda.
Dan keputusan saya ini memiliki dampak. Saya makin jarang berkomunikasi dengan orang tua. Untuk bisa telepon di wartel saja, saya harus menyisihkan uang saku. Sebulan bisa telepon dua kali saja, itu sudah hal yang istimewa. Dan ketika saya telepon itu pun, yang berbicara dengan saya adalah Ibu. Saya tahu Bapak ingin berbincang dengan saya, tapi mungkin beliau tidak tahu berbicara tentang apa dengan anak gadisnya.
Keadaan seperti ini, terus berlanjut sampai saya menikah dan punya anak. Ketika ada yang bilang bahwa cucu itu pembawa kebahagiaan sebuah keluarga, itu ada benarnya. Saya dan Bapak pelan-pelan mulai dekat karena anak pertama kami. Seolah, dialah pengikat benang-benang yang terlepas diantara saya dan Bapak. Kami mulai banyak berbagi tentang apapun. Banyak berbincang tentang kekhawatiran masa depan. Banyak berbincang tentang rencana-rencana yang belum terwujud. Banyak berbincang tentang remeh-temeh kehidupan.
Hanya bertahan selama 6 tahun saja saya merasakan kedekatan yang sangat dengan Beliau. Setahun yang lalu, ketika beliau meninggal, sayalah yang menjerit dan menangis seperti orang linglung. Saya kalah telak dengan Ibu, yang menangis dengan anggunnya. Rasa kehilangan dan rasa menyesal ini bercampur menjadi satu dan saya tidak tahu harus menceritakan pada siapa.
Hari berlalu sejak beliau meninggal, meninggalkan beberapa penyesalan. Kenapa tidak sedari dulu saya berusaha membuka diri terlebih dahulu pada beliau? Kenapa dulu saya harus meninggikan ego untuk tidak mau belajar cara membuka hati beliau?
Tapi Tuhan menciptakan manusia untuk terus belajar bukan?
Penyesalan ini mengajarkan saya untuk mau membuka diri pada keluarga, suami dan anak-anak saya. Memulai cerita pada suami, berkeluh kesah padanya, mendengarkan Arya dan Fatin berbicara, fokus saat mereka butuh pendengar, dan saya belajar untuk menghargai apapun yang mereka sampaikan. Memang belum sepenuhnya saya ahli dalam hal seperti ini. Karena saya dari dulu adalah pribadi yang tertutup. Pribadi yang mudah marah. Tapi penyesalan ini menjadi pengingat, bahwa saya harus belajar tentang berkomunikasi yang efektif dengan keluarga saya.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Jangan lupa kasih komen setelah baca. Tapi dimoderasi dulu yak karena banyak spam ^____^