Mengetahui pelajaran yang disukai dan dikuasai itu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan pekerjaan mereka di masa depan. Karena faktor ini merupakan salah satu faktor kelebihan dan kekurangan mereka, yang berhubungan erat dengan bakat, minat dan kemampuan pribadi yang mereka punya.
Tidak sekali dua kali saya mendapat respon yang berbeda jika ditanya tentang pelajaran apa yang mereka sukai dan kuasai, serta mata pelajaran yang tidak mereka sukai dan kuasai, beserta alasannya. Ada respon yang sama, ada yang berbeda. Dan itu wajar.
Beberapa anak memberikan cerita yang lucu, beberapa anak yang lain mempunyai cerita yang unik dan menarik. Saya sendiri pun memiliki cerita yang cukup panjang jika ditanya tentang kesukaan pada mata pelajaran tertentu. Yang paling bisa saya beri contoh adalah mata pelajaran matematika.
Sejak saya SMP, saya sudah mengerti kalau saya ini lemah dalam menerima pelajaran hitung-menghitung itu. Nilai saya di raport, biasa sekali. Bahkan dulu ketika SMP, pernah dapat nilai merah juga. Reaksi orang tua? Ibu woles, Bapak murka. Hahaha ... Lha gimana tidak murka, Manteman, Bapak termasuk yang orang tua yang sangat bertanggung jawab dengan pendidikan anak-anaknya, termasuk dalam hal mendampingi dan menjadi jujugan ketika saya kesulitan menerima pelajaran.
Meskipun beliau hanya lulusan SMK, tapi dalam wawasan beliau yang luas dan cara berfikir yang terstruktur, sebenarnya membantu saya dan adik saya saat kesulitan di mata pelajaran ini. Tapi entah karena Allah menciptakan otak saya untuk lebih menyukai pelajaran lain, atau entah karena sayanya yang malas berusaha di mata pelajaran matematika, saya tidak paham betul kala itu.
Saat SMP saya suka apapun yang berhubungan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sebenarnya, kesukaan saya ini juga atas penggiringan Bapak sejak saya SD. Pengenalan dunia tulis-menulis sekarang, juga sebenarnya atas inisiatif beliau sendiri. Ya, meskipun mungkin Bapak tidak sadar sih ya saat pertama kali mengenalkan buku diary, novel detektif, dan mesin ketik lawas, ternyata malah membuat saya cinta mati dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Ketika saya kadung suka berandai-andai menulis ini itu supaya tulisan saya bisa masuk majalah anak-anak, saya jadi terlena mengembangkan minat saya di sana dan jadi lupa untuk lebih berusaha di mata pelajaran Matematika. Apa almarhum Bapak saya marah? Oh tidak. Beliau dukung saya seratus persen dalam hal pengembangan bakat, minat dan kemampuan saya.
Hanya saja, karena beliau lulusan SMK, beliau mungkin tidak mengetahui bahwa pelajaran yang disukai dan dikuasai anak ketika SMP bisa menjadi salah satu tolak ukur pengambilan jurusan ketika si anak sudah masuk SMA.
Karena SMK itu pelajarannya dekat dengan mata pelajaran hitung-hitungan, jadi ekspektasi beliau, anak-anak bakal memilih jurusan IPA waktu SMA. Beliau tidak paham betul, kalau di SMA itu ada tiga jurusan, IPA, IPS dan Bahasa. Dan saya memilih IPS untuk penjurusan karena saya merasa lemah dalam hitung-hitungan dan teknik.
Reaksi bapak? Jelas marah lah. Hehehe. Debat berhari-hari dengan argumen masing-masing. Bapak memaksa saya untuk masuk IPA, alasannya lapangan pekerjaan di IPA itu lebih banyak daripada IPS. Sedangkan saya bersikukuh memilih IPS karena hasil tes peminatan condong ke IPS daripada IPA. Selain itu, saya sampaikan ke Bapak, kalau saya lemah di matematika dan semua yang berbau hitung-hitungan. Tetap, Bapak tidak bisa nerima argumen saya dong. Bagi beliau, saya masih mampu buat masuk ke IPA.
Tidak mudah merayu Bapak. Saya dan Bapak sama-sama keras. Argumen kami sama-sama kuat. Tapi entah apa yang membuat Bapak akhirnya membukakan pintu ijinnya untuk saya untuk ambil IPS. Tapi dengan syarat, mata pelajaran di IPS yang ada hitung-hitungannya, harus dapat nilai bagus. Saya okein saja, mumpung pintu ijin itu belum ditutup lagi. Alhamdulillah.
Mata palajaran IPS yang hitung-hitungan sebenarnya tidak banyak saat itu. Hanya matematika dasar untuk IPS dan akuntansi. Tapi buat saya yang malas mikir waktu pelajaran hitung-hitungan, tetap saja harus usaha keras di dua mata pelajaran itu. Demi janji ke Bapak dan tentunya, tidak dimarahi Bapak. Hehe.
Kalau teman-teman SMA saya bilang saya dekat dan ngejar terus guru dua mata pelajaran itu, tujuannya ya memang ingin paham karena ada janji sama Bapak.
Apa hanya sampai di situ saja ceritanya tentang matematika? Oh, tentu tidak.
Lulus SMA, Bapak mengarahkan saya untuk masuk fakultas Ekonomi. Saya menolak. Lagi-lagi karena ada hitung-hitungannya dan saya malas berkutat di sana selama empat tahun nanti. Dengan tegas Bapak tanya ke saya, "kamu mau masuk mana?"
Saya bilang kalau saya mau masuk Psikologi. Bapak heran, fakultas apa itu? Saya bilang, Psikologi pelajari tentang perilaku manusia.
Tahu jawaban Bapak?
"Daripada pelajari sesuatu yang tidak jelas (prilaku) , bukannya lebih baik belajar yang jelas (hitung-hitungan)?"
Saya tetap pada argumen kalau saya mau pelajari itu karena saya suka, karena saya mau, dan saya merasa mampu pelajari bidan ini. Saya juga bilang terus terang ke Bapak, kalau saya lemah di mata kuliah hitung-hitungan. Tapi kali ini memang argumen saya kurang kuat, hanya bermodal itu saja. Tidak ada bukti otentik untuk menguatkan.
Tapi lagi-lagi, Bapak membuka 'sedikit' ijinnya. Dengan syarat, saya harus mengikuti beberapa tes masuk di universitas yang beliau mau untuk mengambil fakultas Ekonomi, baru mengikuti tes masuk fakultas Psikologi. Saya manut. Bahkan beliau siap tukar shift kerja untuk bolak-balik antar saya mengikuti beberapa tes masuk.
Kok ya Alhamdulillah, Allah mengabulkan keinginan saya masuk Psikologi dan gagal di tes-tes masuk Ekonomi. Saya bahagia, Bapak merengut agak marah. Hehe. Ada pilihan dari Bapak ketika itu, untuk menunda masuk kuliah untuk ambil tes masuk Ekonomi tahun depannya lagi. Tapi saya menolak, karena kesempatan sudah di depan mata dan saya tidak mau gambling untuk tahun depan.
Kemudian kalau jaman sekarang ada meme atau video di media sosial yang bilang 'Kalian masuk Psikologi untuk hindari matematika? Itu salah besar!', itu benar sekali, Manteman. Hahaha.
Saya salah perhitungan. Wkwkwkw. Banyak mata kuliah psikologi yang malah dekat sekali dengan hitung-menghitung. Ada mata kuliah statistika, metodologi penelitian, psikometri, dan beberapa mata kuliah pengenalan alat tes, yang memasukkan ilmu matematika di sana.
Puyeng? Jelas. Wkwkw. Mengulang mata kuliah bareng adik tingkat? Jelas. Adu argumen saat selesaikan tugas statistik dengan dosen? Sudah pernah. Ujian skripsi dan adu argumen dengan dekan sebagai penguji ujian? Juga pernah.
Lalu, apa itu membuat saya jadi malas kuliah? Alhamdulillah, lancar jaya dengan usaha sampai kliyengan dan muntah-muntah setelah ujian skripsi. Haha. Sebuah kenyataan yang harus dihadapi saya sebagai siswa yang menghindari matematika tapi tetap denial kalau hitung-hitungan itu sebenarnya sangat penting hidupnya.
Sekarang, setelah kerja dan memberikan materi bakat, minat dan kemampuan ke siswa-siswa saya, akhirnya saya menyadari bahwa dalam hidup, kita tidak bisa menghindari hal-hal yang tidak kita suka. Tapi yang bisa kita lakukan adalah menghadapinya semampu kita.
maaksih sharingnya
BalasHapusIni bener banget, Mbak. Aku juga dulu benci banget sama yang namanya hitung-hitungan dan memvonis bahwa matematika itu nggak akan dipakai di kehidupan sehari-hari. Tapi ternyata saya salah. Sola matematikanya memang nggak dipakai di kehidupan sehari-hari, tapi konsepnya selalu bisa diaplikasikan. Semacam membentuk pola pikir dan mapping untuk menyelesaikan masalah. Akhirnya sekarang udah open deh sama hitung-hitungan. Mau nggak mau ya harus dipelajari. Hahahaha.
BalasHapusBetul sekali Mbak Ria, yang kita tidak sukai, mau tidak mah harus dihapadi dan dijalanin. Dulu, aku pengen masuk psikologi eh nyasar di teknik, setiap hari ketemunya matematika wkwkk.
BalasHapusHihihi, kayaknya semua mata kuliah ujung-ujungnya ada matematika, termasuk psikologi 🤭 jadi keingat sama tes psikologi ada menguji kemampuan matematika dasar, bentuk, bahkan yang tes pakai koran itu...
BalasHapusThanks sharingnya ya mba, memang kita ga bisa selamanya menghindar dari hal yang kita benci... Tau-tau aja dikasih jalan buat ketemu ya
Wuaaa perjuangannya ya mbak! Psikologi dan Ekonomi kalau di kampus saya dulu merupakan jurusan dengan passing grade tinggi. Kursinya dikit tapi saingannya segambreng, se-Indonesia Raya banget. Hahaha.
BalasHapusWaktu UM, aku daftar Psikologi tapi gak tembus. Akhirnya pas SNMPTN aku ganti pilihan jurusan jadi hukum. Sisa kursi paling banyak soalnya, ada 10. Paling besar peluangnya kalau dibanding dengan jurusan lain. Alhamdulillah tembus. Lika-liku banget ya namanya menempuh pendidikan tuh
Ah benar. Hal yang nggak kita sukai itu sekali pun kita ingin menghindarinya. Ia seolah malah mengejar kita. Membuat kita merasa mau nggak mau, suka nggak suka, ya harus menghadapi dan menyelesaikannya dengan sebaik yang kita mampu.
BalasHapusAt least, saat sudah melewatinya kita bisa merasa lega juga...
Walau dihindari, tetap ketemu juga ya Mbak dengan perhitungan.. yaa mau gimana lagi, dalam hidup ilmu hitung-hitung emang pasti adanya sih ya 😁
BalasHapushaha aku pun gitu mbak
BalasHapussma milih ips dan kuliah di sosiologi
ternyata pas kuliah, ketemu statistik sampai 3 season! mabok aku, tapi alhamdulillah terlewati dengan baik, hehe
matematika memang tidak bisa untuk benar benar dihindari ya mbak
Iya mbak rochma. Aku tuh dulu salah satu jurusan yg dipengenen itu ya psikologi pdhl aku jurusan ips. Kirain bisa masuk, ternyata nggak bisa donk karena harus jurusan IPA. Ternyata memang bnyk matkul hitung-hitungannya. Untungnya keterima di fakultas hukum malah, paling ngitung waris doank..
BalasHapusbaru tahu nih ternyata jurusan psikologi juga ada pelajaran hitungannya. kalau aku dulu memang lumayan suka matematika sih tapi pas kelas 3 SMA belajar integral ya mabok juga ternyata. wkwkwk
BalasHapusHihi sekamarku dulu juga anak psikologi, ya gitu deh, statistikanya lebih ngeri daripada gw yg anak math asli, wkkk.
BalasHapus